Al
hamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.
Jamaah Sholat Isya, Tarawih dan Witir.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang telah mencurahkan karunia dan rahmatnya kepada kita,sehingga
kita bisa menjalankan ibadah di bulan ramadhan ini dengan lancar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan kultum dengan tema “ Antara
Dokter dengan Kyai”. Ada apa dengan kiai dan dokter? Ada masalah apa antara
keduanya?
Ndak ada apa-apa
koq! Hanya saja dalam kesempatan kali
ini kita ingin menyoroti persamaan antara dua profesi tersebut dan
perbedaannya.
Persamaannya: baik kiai maupun dokter, sama-sama bertugas untuk
menjaga kesehatan manusia dan mengobati penyakit mereka. Kiai menjaga kesehatan
rohani dan mengobati penyakit-penyakit hati, sedangkan dokter, tugasnya menjaga
kesehatan jasmani serta mengobati penyakit-penyakit fisik.
Kedua profesi tersebut sama-sama penting dan dibutuhkan manusia. Mengabaikan
salah satunya akan merugikan insan. Sekedar contoh: orang yang sehat rohaninya
namun sakit gigi, dia akan terganggu manakala membaca al-Qur’an. Sebaliknya
orang yang sehat jasmaninya namun sakit hatinya, dia akan tidak merasa berdosa
untuk berkorupsi ria.
Itu salah satu persamaannya, lantas apa
perbedaan antara kiai dan dokter?
Jika dicermati, tentu akan banyak ditemukan sisi perbedaannya, namun yang
akan kita singgung di sini adalah perbedaan masyarakat dalam menilai dan
menyikapi keduanya.
1. Banyak masyarakat cenderung selektif dalam memilih dokter, namun tidak
sebaliknya manakala mereka mencari kiai.
Itu akan terlihat jelas manakala orang mau berobat, seringkali dia akan
begitu berhati-hati dalam memilah dan memilih dokter, bahkan dalam yang satu
spesialisasi sekalipun! Namun tidak demikian manakala mereka mengaji dan
bertanya dalam ilmu agama. Banyak di antara mereka cenderung asal-asalan dalam
memilih narasumber,
senemunya!
Padahal jika dalam dunia medis dikenal mal praktek, dalam ranah keulamaan
pun juga dikenal adanya kiai palsu. Bahkan sejak empat belas abad lalu, Nabi
kita
shallallahu’alaihiwasallam sudah mengisyaratkan akan adanya
fenomena tersebut,
“إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”
“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara
mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu
(dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama. Hingga jika tidak tersisa
seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai
panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat
dan menyesatkan”. HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu’anhuma,
dengan redaksi Bukhari.
2. Realita berkata bahwa banyak di antara kita yang
tidak sadar
manakala menderita sakit rohani. Kebalikannya manakala terjangkiti penyakit
fisik, kita akan segera berfikir dan terbebani untuk lekas membebaskan diri
darinya, dengan beragam cara yang bisa ditempuh.
Contoh nyatanya: tatkala terjangkiti penyakit pelit, sombong, hasad dan yang
semisal, kebanyakan kita akan tenang-tenang saja, seakan tidak ada apa-apa.
Namun manakala divonis dokter sebagai penderita kanker stadium tinggi misalnya,
maka akan kalang kabut, seakan kiamat telah tiba.
Padahal kesengsaraan sejati adalah kesengsaraan di akherat yang itu
bersumber dari penyakit rohani. Adapun kesengsaraan di dunia tidaklah seberapa.
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Di hari kiamat
kelak akan didatangkan calon penghuni neraka yang dahulunya ketika di dunia
hidup paling senang. Lalu dicelupkan ke dalam neraka sekali, kemudian ditanya,
“Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan keindahan dan kenikmatan
duniawi?”. “Tidak demi Allah, wahai Rabbi” jawabnya.
Lalu didatangkan calon penghuni surga yang dahulu di dunia hidupnya
paling sengsara. Kemudian dicelupkan ke dalam surga sekali, dan ditanya, “Wahai
anak Adam, pernahkah engkau merasakan kemiskinan dan mengalami kesengsaraan?”.
“Tidak demi Allah wahai Rabbi, aku tidak pernah merasakan kemiskinan ataupun
mengalami kesengsaraan”. HR. Muslim dari Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu.
Padahal itu hanyalah satu celupan, bagaimana dengan kekekalan di dalamnya?!
Akhirnya, marilah kita lebih cerdas dan bijak memilih kyai untuk mengobati
penyakit rohani kita, sebagaimana kita memilih tenaga kesehatan untuk mengobati
penyakit jasmani kita.
Demikian, kultum singkat ini mudah-mudahan bermanfaat
Nuun...Walqolami wamaa yasturuun.
Wassalamualaikum Warohmatullohi W.
Related Posts: