A. Sitanggal Sebagai Bagian dari Kerajaan Pasundan
Sitanggal adalah sebuah Desa yang terletak di wilayah Brebes tengah. Sitanggal berada pada jalur tengah yang melintas membujur dari Jatibarang, Sitanggal, Ketanggungan hingga Ciledug. Sitanggal terletak di barat sungai Pemali, kurang lebih 5 km dari sungai pemali. Sebuah sungai yang pada masa hindu kuno yaitu pada masa kerjaan Tarumanegara ketiga dikenal dengan sungai Cipamali. Nama Cipamali erat sekali dengan sebutan sunda. Istilah Kerajaan sunda itu sendiri baru muncul pada masa pemerintahan Tarumanegara ketiga yaitu masa kekuasaan Raja Purnawarman yang berkuasa dari tahun 395-434 M (sumber wikipedia). Kekuasaan Tarumanegara ketiga di masa kerajaan Purnawarman membentang dari barat dan ke timur hingga sungai cipamali, ciserayu dan purwalingga (sekarang Purbalingga). Dapat dipastikan Letak Sitanggal yang di sebelah barat sungai Cipamali adalah masih dalam kekuasaan Tarumanegara III. Walau Sitanggal masuk dalam wilayah kerajaan Tarumanegara III, namun tidak ada catatan pasti apakah sudah muncul pemukiman perkampungan Sitanggal. Pendek kata pada masa Hindu yaitu masa Kerajaan Hindu Tarumanegara III belum ada pemukiman di Sitanggal. Hal ini berbeda dengan Desa Kedungbokor dan Wanacala yang dimungkinkan sudah ada pemukiman. Hal tersebut masuklah akal, karena moda transportasi pada masa itu adalah sungai. Sungai Cipamali yang pada saat itu lebar dan panjang, memungkinkan orang bermukim di tepian Cipamali.
Kekuasaan Kerajaan Pasundan, walau pun berganti-ganti Raja dan berganti-ganti Ibukota namun hingga abad ke-16 masih bertahan. Hal ini dibuktikan dengan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceritakan tentang perjalanan Bujangga Manik seorang pendeta hindu sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci di Jawa dan Bali pada abad ke-16. Naskah kuno tersebut disimpan di perpustakaan Budiian, Oxford University sejak 1627. Dalam naskah kuno tersebut batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (sekarang sungai Pemali), Sungai Ciserayu (sekarang sungai Serayu) provinsi Jawa Tengah. Pada masa Pajajaran wilayah kekuasaanya juga mencakup wilayah Sumatera bagian Selatan. Berikut peta wilayah Kerajaan Sunda Galuh pada tahun 932-1579 Masehi (Sumber Wikipedia).
Seiring dengan perkembangan Agama Islam di dunia maka Islam pun masuk ke wilayah kerajaan Hindu Sunda. Islam mulai masuk tatar tanah pasundan mulai abad ke-7, namun penyebarannya secara signifikan barulah sangat terasa pada abad ke-13. Pada tahun 1416, Laksamana
Zheng He dari
Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai
Syekh Quro yang berasal dari
Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di
Tanjungpura. Atas izin Prabu
Niskala Wastu Kancana (1371-1475M), Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama
Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas
Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu
Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M) yang menganut Islam.(sumber wikipedia)
Sebagaimana diketahui Sitanggal adalah sebuah Desa di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Namun karena letaknya di sebelah barat sungai Cipamali maka Sitanggal pada masa kuno adalah salah satu wilayah yang termasuk kedalam wilayah Kerajaan Sunda Galuh yang ber Ibukota di Pakuan Pajajaran (lebih dikenal dengan Kerajaan Pajajaran, sekarang Pakuan adalah Kota Bogor). Di Jawa sendiri (Jawa tengah dan Jawa timur) pada abad ke-12 berkuasa Kerajaan Kediri (116-1222), lalu muncul Kerajaan Singasari (1222-1292), lalu Kerajaan Majapahit (1292-1519), Kemudian muncul Kerajaan Islam Demak (1478-1561), Kerajaan Islam Pajang (1561-1575), lalu muncul mataram Islam (1575-sekarang). Wilayah inti Kerajaan majapahit membentang dari Bali hingga barat Jawa Tengah yaitu sungai Pamali. (sumber Wikipedia)
(Peta Kerajaan Majapahit dari tahun 1292-1519)
Dari kedua peta kuno Kerajaan Pasundan Galuh dan Kerajaan Majapahit maka Sitanggal masuk ke dalam wilayah Kerajaan Pasundan Galuh. Dusun yang sekarang dikenal dengan Sitanggal maka dahulunya dikenal dengan Citanggal, berasal dari kata Caitanggal. Sebagaimana lazimnya penamaan nama Dusun atau desa pada Kerajaan Pasundan. Bahwa banyak Desa yang berada di tepian sungai diberi nama dengan kata depan cai atau ci. Untuk Dusun atau Desa yang masuk wilayah Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Brebes di era kini masih banyak yang hingga sekarang menggunakan istilah ci, contohnya Cikakak Ketanggungan, Cigedog Kersana dan Ciampel Kersana. Beberapa mengalami Transformasi akibat pengaruh budaya Jawa yang kuat contohnya Cilosari sekarang Losari dan Citanggal menjadi Sitanggal.
B. Sitanggal di Era Kuno Periode (700-1875 M)
Dusun Citanggal pada masa dahulu diperkirakan dimukimi oleh orang pada masa penyebaran Agama Islam pertama di Kerajaan Sunda Galuh yaitu pada abad ke-7 (butuh rujukan). Dalam hal ini dimungkinkan sudah ada orang yang tinggal dan pergi di Sitanggal sejak kerajaan Hindu Pasundan. Seiring dengan perubahan moda transportasi dari sungai menjadi darat, maka Citanggal sudah mulai berbentuk dusun pada abad ke-14 hingga abad ke-15 yaitu pada masa Prabu
Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Hal tersebut sejalan dengan perkembangan Agama Islam di Kerajaan Pasundan Galuh. Citanggal sebagai bagian dari kerajaan Pasundan pada era kuno hingga berkembangnya agama Islam di Pasundan tentu merujuk pada nama sebuah kali. Hal tersebut layaknya pemberian nama-nama Desa di Daerah Pasundan. Belum diketahui secara pasti dalam babad Sitanggal kuno. Maka sungai atau kali yang dmaksud sekarang kali yang mana. Ada yang merujuk bahwa yang dimaksud adalah kali buangan yang pernah menjadi tempat pertapaan Ki Danawangsa (Lurah pertama), sebuah kali buangan yang sekarang terletak di sebelah timur Lapangan Sitanggal atau sebelah timur RS Amanah Mahmudah dan di sebelah barat Puskesmas Sitanggal. Atau bahwa kali yang dimaksud adalah Desa yang terletak sebelah barat Pasar Sitanggal kurang lebih 200m yaitu kali sena. Kali yang terletak di sebelah barat perempatan Sitanggal dan di sebelah timur SD 1 Sitanggal. Namun diperkirakan kali yang dimaksud dalam Citanggal merujuk ke sungai yang sekarang lebih dikenal dengan kali Sena. Sebuah sungai yang kemudian karena ada seorang kaya yaitu Mbah Sena yang tinggal di bantaran sungai maka dikenal dengan sungai kali Sena.
Hancurnya Kerajaan Pasundan akibat diserang oleh Kesultanan Banten yaitu oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579 mengakibatkan pengaruh Sunda di wilayah barat sungai Cipamali mengendur. Selanjutnya sejalan dengan meningkatnya pengaruh Kerajaan Mataram Islam mulai dari tahun 1575 maka pengaruh budaya Jawa makin meningkat menyebrang ke barat sungai Pemali. Rasa-rasanya Citanggal yang mulai ada di abad ke-7 di era Kerajaan Hindu Pasundan, maka setelah mencengkeramnya Kerajaan Mataram Islam hingga terbentuknya Kadipaten Brebes yaitu di abad ke-17, maka nama Citanggal sudah mulai berubah menjadi Sitanggal. Sebagaimana sejarah mencatat lahirnya kadipaten Brebes pertama adalah dengan mulai berkuasanya Tumenggung Arya Surlaya di tahun 1678-1683. Kadipaten Brebes lahir dan berada di wilayah Kerajaan Jawa Mataram Islam.
Dapat dipastikan sejak lahirnya Kadipaten Brebes sebagai Kadipaten Baru, sebuah kadipaten pecahan dari Kadipaten Tegal, maka dusun yang dulunya dikenal dengan Citanggal adalah salah satu daerah kekauasaan Kadipaten Brebes yang membentang hingga sungai Losari. Dusun ini terus berkembang dan menggantikan popularitas Desa yang lebih lama ada di barat sungai Cipamali yaitu Kedungbokor dan Wanacala. Dusun Citanggal yang sekarang dikenal dengan Sitanggal kemudian Menjadi Desa Sitanggal pada bulan Syuro tahun 1875 M, yaitu setelah masuknya sosok tokoh yang bernama Danawangsa yang kemudian menjadi Lurah pertama Desa Sitanggal pada tahun 1875 Masehi.
Kehidupan masyarakat Sitanggal di era kuno awalnya bergantung pada sungai. Untuk transportasi di awal mulai mukimnya orang perorang pada abad ke-7 mereka masih menggunakan sungai Cipamali sebagai andalan yang terletak di timur. Selain sungai Cipamali segelintir orang-orang tersebut juga memanfaatkan Kali Rambatan di Selatan, di sebelah barat memanfaatkan Kali babakan Ketanggungan dan sungai Cilosari. Hal itu karena Kali Sena sendiri tidak terlalu lebar dan tidak panjang.
Seiring dengan perkembangan zaman masyarakat beralih ke moda transportasi darat dengan kuda dan kerbau. Pada era ini kehidupan masyarakat mulai menetap penuh membentuk komunitas dusun. Hal ini berbeda dengan kondisi pada awal abad ke-7 yang mana walaupun sudah ada mukimin di citanggal namun mereka masih nomaden. Pada abad ke-13 masyarakat yang bermukim mulai menetap dan menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Namun hingga abad ke-19 sebagian lahan pertanian masih berupa hutan dan semak-semak.
C. Sitanggal di Era Modern (1875-Sekarang)
Masyarakat Sitanggal boleh bangga kini Desanya pelan tapi pasti telah berubah menjadi kota. Wajah Sitanggal kini sudah sangat berbeda dibandingkan dengan Sitanggal tempo dulu. Kini Sitanggal berubah semakin maju dan sangat maju. Maka tidaklah heran jika tokoh-tokoh nasional asal Brebes mengusulkan Sitanggal menjadi Ibu Kota Kabupaten Brebes. Konon jika dipindah di wilayah Tengah di Sitanggal maka Kabupaten Brebes akan berkembang semakin maju. Tapi tahukah warga Sitanggal akan asal mula keberadaan Desanya. Tahukah warga Sitanggal itu sendiri akan sejarah yang terukir di Desanya. Bung Karno sang proklamator sering mendengungkan slogan "JAS MERAH" kepada seluruh rakyat negeri nusantara ini. Yang maknanya jangalah sampai melupakan sejarah. Ya emang kini orang kadang lupa atau melupakan sejarah. Padahal dalam sejarah ada banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran. Dalam sejarah orang menjadi tahu urutan perkembangan zaman. Orang yang kini ada menjadi sadar bahwa perkembangan yang kini tidak luput dari perkembangan masa lampaunya. Sejarah juga dapat menciptakan karakter mengharagai leluhur Desa, leluhur bangsa, sejarah membuat arif dan melegakan hati kita untuk memaafkan satu sama lainnya.
Nah, Sejarah berdirinya Desa Sitanggal di era modern tidak luput dari nama seorang pendirinya yang dikenal dengan nama Ki Danawangsa. Petilasannya pun sampai kini masih ada yaitu di komplek Pemakaman Umum Desa yang dibangunnya ya di Makam Desa Sitanggal. Bagaimana orang mengenalnya, wong diantara makam-makam yang lain, makam Ki Danawangsa sangat sederhana. Makamnya bahkan sangat sederhana, makam orang biasa banyak yang dibangun mencolok, namun makam sang legenda Desa nampak biasa saja. Hal itu konon karena ketika anak turunannya bermaksud membangunnya, kadang datang semacam wangsit dari tokoh yang selama ini dianggap sakti mandraguna ini yang isinya melarang untuk dibangun. Wangsitnya menyiratkan permintaan agar makamnya dibiarkan apa adanya, sejajar dengan masyarakat kebanyakan lainnya yaitu kaum dhuafa. Padahal semasa hidupnya sosok Ki Danawangsa yang mendirikan Desa Sitangal dan menjadi lurah Pertama, telah melahirkan banyak warisan budaya dan pembangunan (heritage) yang tak ternilai harganya bagi warga Masyarakat Desa Sitanggal.
Untuk tidak menambah rasa penasaran marilah kita simak akan sejarah Sitanggal di era modern dan sejarah pendiri Desa Sitanggal yaitu Ki Danawangsa. Ki Danawangsa yang kita kenal selama ini adalah bukan nama sebenarnya. Nama Ki Danawangsa adalah nama samaran, nama perjuangan dalam merebut kemerdekaan dan menegakan tegaknya bumi pertiwi. Nama sebenarnya dari Ki Danawangsa adalah Haji Abdul Syukur. Ki Danawangsa berasal dari Aceh dan di Aceh dikenal dengan Teuku H. Abdul Syukur. Ki Danawangsa adalah salah seorang pejuang rakyat Aceh. Ki Danawangsa adalah anak dari Tengku Imam Syafi,I seorang ulama dan Pejuang Aceh. Keduanya, Bapak dan anak adalah Pejuang Aceh menjadi anggota pasukan Panglima Polim di bawah panji kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah.
Ditandatanganinya
Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di
Guyana Baratkepada
Britania. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika Serikat,
Kerajaan Italia dan
Kesultanan Usmaniyah di
Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke
Turki Usmanipada tahun
1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia
Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh
Panglima Polim dan
Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin
Köhler.
Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan,
di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal
14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh,
Lambhuk, Lampu'uk,
Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari
Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh pertama dan kedua bersifat frontal, selanjutnya pada perang berikutnya setelah Ibukota Kerajaan Aceh berpindah-pindah berlakulah perang gerilya. Mati satu tumbuh seribu, demikian pepatah menyebut. Pada perang gerilya muncul pemimpin-pemimpin perang berikutnya yaitu Cut Nyak Dhien dan teuku Umar. Pada perang gerilya ini sebagian pasukan melanjutkan perang lintas batas, mereka bergerilya melebar ke arah Minangkabau dan seterusnya hingga ke Jawa. Sebagian Pasukan itu adalah pasukan gerilya yang dipimpin oleh tokoh agama yaitu Tengku Syafii beserta anaknya yaitu H. Abdul Syukur dan Hajah Mujibah. Sementara perlawanan di Aceh dengan gerilya terus berlanjut dengan pimpinan Chut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Teuku Umar yang lahir di Meulaboh kurang lebih Tahun 1854 selanjutnya menikahi Cut Nyak Dhien selepas suami Chut Nyak Dhien yaitu Ibrahim Lamnga gugur di medan perang melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1978. Usia Cut Nyak dhien sendiri 6 tahun lebih tua, karena Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang Kerajaan Aceh pada tahun 1848.
Haji Abdul Syukur yang bersama Bapaknya Tengku Syafii kemudian melanjutkan perang gerilya ke selatan lalu ke timur adalah kolega seperjuangan para pejuang Aceh. Tengku Syafii adalah kolega perjuangan seusia Panglima Polim, sedangkan H. Abdul Syukur kolega perjuangan seusia Teuku Umar. Dalam hal ini Haji Abdul syukur diperkirakan lebih tua dari Teuku Umar namun lebih muda dari Cut Nyak Dhien, atau dilahirkan pada tahun 1852 M. Walaupun gerakan dari Tengku Syafii beserta dua anaknya yaitu Abdul Syukur dan Mujibah sudah keluar dari batas Kesultanan Aceh hingga ke Minang, hingga ke palembang, hingga ke Jawa. Namun Pihak Belanda pun selalu mengendus keberadaan pasukan Teuku H. Abdul Syukur ini. Maka untuk tidak tertangkap Belanda mereka pun selalu berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Gunung dan hutan menjadi rumah dan pelindung utama laskar Haji Abdul Syukur.
Sepasukan kecil dari Aceh yang dipimpin oleh Tengku Syafii didampingi anaknya yaitu Haji Abdul Syukur pun terdampar hingga ke Jawa. Dan pejuang adalah tetap pejuang. Selama di Jawa Tengku Syafii bersama Abdul Syukur dan Mujibah berdakwah mengajarkan agama Islam dan tetap berjuang melawan Belanda. Diperkirakan pada tahun 1874 Masehi laskar Haji Abdul Syukur tiba di Sumedang setelah melewati Banten dan Tasikmalaya. Laskar Haji Abdul Syukur sendiri sebenarnya dipimpin langsung oleh Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i, seorang ulama dari Aceh yang sekaligus Ayahanda dari H. Abdul Syukur. Mbah Guru Tengku Imam Syafi'i didampingi oleh dua orang anaknya yang pemberani yaitu putranya H. Abdul Syukur dan Putrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Mujibah. Selain itu diikuti pula oleh anak buahnya, anak buahnya yang cukup dikenal adalah Haji Malik dan haji Abdul Rohim.
Di Sumedang sebagian pasukan dari Aceh tersebut membubarkan diri sebagai siasat perjuangan menghadapi penangkapan-penangkapan oleh pasukan Belanda. mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk tidak mencurigakan Belanda. Di tanah Jawa sebagian dari mereka ada yang kemudian menetap menjadi petani, pedagang, sebagian besar yang lain tetap meneruskan perjuangan bergerilya melawan pasukan Belanda. Mbah guru besar putranya, yaitu H. Abdul Syukur, putrinya Mujibah dan teman perjuangan yang setia meneruskan perjalanan ke arah timur. Mereka terus mencoba mempertahankan hidup dan melangsungkan perjuangan dengan cara bergerilya dan berdakwah. Di Jawa kemudian mereka bertemu dengan anak cucu mantan pasukan pejuang Pangeran Diponegoro yang masih setia melawan kafir Belanda. Perang Diponegoro sendiri terjadi pada tahun 1825-1830, namun selesai perang Belanda masih kocar-kacir Keuangannya karena Perang berlangsung hampir menyeluruh di tanah Jawa. Perang tersebut sering dikenal dengan istilah Perang Jawa. Perang yang cukup menguras energi pasukan pasukan Belanda. Perang yang telah membunuh banyak pasukan Belanda. Perang yang bayak menghabiskan keuangan pemerintah Hindia Belanda. Lepas perang Jawa energi pasukan Belanda dihabiskan lagi dengan perang Aceh raya yang berlangsung cukup lama (1873-1910).
H. Abdul Syukur beserta dengan Bapaknya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakak perempuannya Mujibah Imam Syafi'i serta teman-teman seperjuangan meneruskan perjalanan dari Sumedang ke Timur melalui hutan belantara, melalui desa-desa. Di suatu pedukuhan memasuki wilayah Kadipaten Brebes rombongan H. Abdul Syukur bertemu dengan Ki Sutawiyana. serombongan pejuang dari Aceh ini sempat bermalam di rumah Ki Sutawiyana, mereka juga secara diam-diam selama perjalanan bertemu dengan orang-orang yang memiliki tekad sama terhadap Penjajah Belanda.
Rombongan ini kemudian terus melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kadipaten Tegal, tidak jarang di tengah perjalanan mereka harus berhadapan dengan pasukan Belanda, menghindar dari kepungan pasukan Belanda. Sebab berita tentang mobilitas sepasukan kecil yang eksodus dari Aceh ke Jawa sebenarnya telah diketahui Belanda malalui para telik sandinya. Dengan melalui jalan yang berliku sebagai taktik menghadapi dan menghindari penangkapan pasukan Belanda, sampailah rombongan H. Abdul Syukur di suatu desa di sebelah timur Kelurahan Tegal Arum. Di Desa tersebut keberadaan mereka sempat diketahui oleh Belanda. Mereka melakukan penyamaran-penyamaran setelah telik sandi mereka di kademangan Banjaran memberitahu akan penyisiran oleh pasukan Belanda. H. Abdul Syukur dan rombongannya selamat. Pasukan Belanda pulang tanpa membawa hasil. Desa tempat persembunyian H. Abdul Syukur beserta keluarga dan rombongannya diberi nama Desa Dermasandi. Keluarga Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) putranya H.A bdul Syukur, putrinya Mujibah Imam Syafi'i kemudian menetap di Desa tersebut (Dermasandi). Di Dermasandi Mbah Guru dibantu oleh kedua orang anaknya berjuang mengadakan sarasehan-sarasehan, dakwah,dan pengajian-pengajian umum yang diperkuat oleh saudara-saudara dari Aceh. Dakwah Mbah Guru dan kedua orang anaknya mulia meluas, warga desa dan sekitarnya desa Darmasandi makin banyak yang mengikuti. Mbah Guru kemudian mendirikan masjid dan pesantren kecil tempat pengembangan dakwah dan alat perjuangannya melawan pemerintahan Hindia Belanda. Di masjid dan pesantren kecilnya itulah para santri dan pengikut Mbah Guru terus memperdalam ilmu agama. Hingga kini masjid dan pesantrennya masih ada.
Sementara orang tuanya Tengku Imam Syafi'i (Mbah Guru) dan kakaknya Mujibah menetap di Desa Dermasandi, H. Abdul Syukur melalang buana ke arah barat sambil melanjutkan perjuangan secara bergerilya. Selanjutnya untuk lepas dari telik sandi Belanda H. Abdul Syukur mengganti namanya dengan nama samaran Ki Danawangsa. keberadaan Ki Danawangsa di desa tersebut sempat tercium oleh Kadipaten Tegal. Keadaan Kadipaten Tegal, Kadipaten Brebes dan hampir semua kadipaten di tanah Jawa praktis jatuh dan dipengaruhi kekuasaan Belanda semenjak meredupnya kekuasaan Kerajaan Mataram Islam baik Kasunanan Surakarta atau pun Kesultanan Jogjakarta.
Pada masa itu Pemerintahan Kadipaten Brebes dipegang oleh Kaneng Adipati Arya Singasari Panata Yudha III atau Raden Sarya yang berkuasa antara tahun 1856-1876. Kadipaten Brebes ada di bawah payung Kerajaan Mataram Islam. Namun, dengan taatnya penguasa Mataram yaitu Kesultanan Jogja, maka praktis semua Adipati di Jawa harus tunduk pada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Mereka menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Belanda. Karena pengaruh Belanda sangat kuat terhadap diberhentikan dan diangkatnya seseorang Bangsawan menjadi Adipati pada suatu wilayah.
Perjalanan Ki Danawangsa dari Tegal menuju Brebes, di Margadana Ki Danawangsa sempat mendapatkan kendala, Beliau dan teman-teman setianya dihadang oelh segerombolan Begal dan Kecu yang tertarik oleh iming-iming uang sayembara apabila dapat menangkap hidup atau mati dan menyerahkan Ki Danawangsa kepada pasukan Belanda ke pemerintahan distrik Tegal yang dikendalikan langsung oleh Belanda (sekarang Pemerintah Kota). Namun, Begal dan Kecu tidak sanggung melawan Ki Danawangsa, mereka semua dapat dikalahkan. Ki Danawangsa seakan mendapat kemukjizatan karena gerombolan Begal dan Kecu tersebut kemudian mau bertaubat, bahkan berbalik setia berjuang melawan Belanda sebagai simbol keangkaramurkaan. Segala hasil jerih payah mereka pun kemudian dimanfaatkan untuk perjuangan melawan penjajahan Belanda. Mencuatlah stigma yang dimunculkan oleh Belanda didukung oleh kadipaten-kadipaten di bawah pengaruh Belanda seakan-akan Ki Danawangsa memimpin para Begal dan Kecu. Pola ini diterapkan sebagai siasat Belanda untuk memberi jarak perjuangan antara Ki Danawangsa dengan masyarakat yang tak sudi di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga setiap Ki Danawangsa dan kawan-kawan muncul di suatu desa terkesan dan dicap sebagai pengacau, maling, begal dan kecu. Mereka dicap pembuat keonaran dan ontran-ontran yang perlu ditangkap. Setelah para begal dan kecu setia pada Ki Danawangsa, pasukan Belanda mengobrak-abrik gerakannya di Margadana. Namun, Ki Danawangsa dan kawan-kawan telah meninggalkan Margadana dan bergerak menuju Desa Lawa sebelah utara Jatibarang. Di Desa Lawa Ki Danawangsa menyusun kekuatan lagi melalui pengajian dan dakwah islam, sehingga berkembanglah para santri di Desa Lawa, yang kemudian dibentuk paguyuban santri Lawa. Keberadaan Ki Danawangsa di Desa Lawa sempat tercium oleh antek-antek Belanda. Kemudian tempat paguyuban santri lawa diserbu dan dihancurkan.
Ki Danawangsa mundur, menghindari pertumpahan darah yang terlalu banyak. Sampailah beliau di Desa Kampir. Ki Danawangsa teringat sewaktu perjalanan dari Sumedang pernah bertemu dengan seseorang yang bernama Sutawiyana di suatu pedukuhan. Bahkan beliau beserta rombongan mbah guru sempat bermalam. Pedukuhan tempat Ki Sutawiyana tinggal kemudian dikenal dengan nama pedusunan Sitanggal. Sebuah Desa yang sudah ada sejak Kerajaan Pasundan Galuh atau Kerajaan Pajajaran.
Sudah barang tentu Dusun/Desa Sitanggal tempat Ki Sutawiyana tinggal,saat itu belumlah seramai sekarang. Namun bentangan pedusunanya sudah dikelilingi dan membentang yang sekarang ketimur hingga Lamaran dan ke Selatan hingga Andong dan Penjalinbanyu. Salah seorang tokoh yang tinggal di Desa itu ya Ki Sutawiyana. Selain cerita tentang nama sitanggal yang dinisbatkan pada nama sebuah kali, maka konon dulu ceritanya sebelum dikenal dengan istilah Sitanggal. Di Pedusunan tersebut ada pohon besar yang diatasnya dihuni oleh puluhan ribu tawon yang menghasilkan madu asli. konon ceritanya setiap tanggal satu di pohon besar tersebut selalu muncul madu, pohon tersebut konon terletak di sekitar makam Sitanggal (sekarang / saat ini). Setiap tanggal satu banyak orang-orang dari luar desa baik dari Kadipaten Brebes, Cirebon dan Tegal datang ke pedusunan tempat Ki Sutawiyana tinggal untuk mencari madu. Pada tanggal satu mereka mengadakan acara selamatan. Bila dihubungkan antara pohon penghasil madu yang konon berada di sekitar pemakaman yang juga dekat kali sena, maka sangat mungkin pada masa kuno kali yang dimaksud dengan citanggal adalah yang sekarang dikenal orang dengan kali sena.
Dulunya Pedusunan Sitanggal hanya dikenal dengan penghasilan madunya setiap tanggal satu (istimewanya) penanggalan jawa. Kedatangan Ki Danawangsa ke pedusunan ini dengan menemui Ki Sutawiyana membawa berkah tersendiri. Ki Sutawiyana menerima kedatangan Ki Danawangsa dengan sangat gembira dan senang hati. Beliau menerima dan bahkan kemudian mengakuinya sebagai anak angkat. Sehubungan dengan kondisi pedusunan ini masih sarat hutan, maka Ki Sutawiyana menyarankan Ki Danawangsa untuk melakukan babad alas. Ki Danawangsa kemudian melakukan babad alas dibantu oleh semua teman-temannya. Babad alas persis dimulai pada saat penanggalan jawa yaitu tanggal satu. Tanggal satu dalam terminologi jawa adalah tanggal siji, sitanggal artinya tanggal siji.
Pedusunan ini kemudian terus berkembang setelah babad alas oleh Ki Danawangsa, tanah yang dahulunya terdiri atas hutan belantara kini mulai tampak ladang, kebun, pekarangan dan kemudian menjadi sawah. Tentu tanah hasil babad alas pada masa itu menjadi bagian kepemilikan dari Ki Danawangsa. Rumah-rumah penduduk terus bertambah. para pendatang yang mencari madu setiap tanggal satu mulai berani dan tertarik tinggal di pedukuhan tersebut. Pedusunan yang babad alasnya oleh Ki Danawangsa persis pada tanggal satu penanggalan jawa, pedusunan yang setiap tanggal satu berdatangan para pendatang yang mengadakan selamatan untuk mencari madu, kemudian disebut (dikenal) dengan nama Pedusunan (desa) Sitanggal, sitanggal dalam makna jawa tanggal siji. Jadi nampak sekali ada hubungan yang erat antara citanggal pada masa Kerajaan Hindu Pasundan Galuh yang bermetamorfose menjadi Sitanggal setelah babad alas yang dilakukan oleh sosok yang dikenal sakti mandraguna yaitu Ki Danawangsa yang dimulai pada tanggal 1 Syura atau 1 Muharam 1291 H atau dalam penanggalan masehi kira-kira tahun 1875 M. Situasi daerah saat itu semakin mereda dari perang. keberadaan Ki Danawangsa tidak terlalu dikejar-kejar Belanda. Menetaplah Ki Danawangsa beserta Ki Sutawiyana yang setiap harinya bertani, bercocok tanam dan sebagainya. Dalam cita-cita Ki Danawangsa sesekali muncul pemikiran bahwa dalam angan-angan perjuangan yang telah dilakukan dengan susah payah belum terwujud, dan rasa dongkol kepada penjajah selalu menghantui. Maka Ki Danawangsa sering menyamar pura-pura jual kayu bakar ke Brebes yang bertujuan untuk ingin melihat situasi daerah.
Datanglah Ki Danawangsa dengan spikul kayu dan bersembunyi sama penjual kayu-kayu yang lain. Kebetulan tempat penjualan kayu tersebut di depan Pendopo Kadipaten Brebes. Dalam penjualan kayu bakar Ki Danawangsa dan temannya selalu bercanda (ngobrol) sambil menanti pembeli datang. Tiba-tiba di depan Pelataran Pendopo muncul seorang putri, yaitu putri Siti Habibah. Si Putri berjalan kian kemari sambil menikmati udara segar. Setiap langkah Si Putri selalu melempar senyum dan ajakan yang sangat bijaksana. Hari semakin sore, kayu pun belum ada yang beli dan si putri sambil memberikan lemparan pandangan dengan disertai senyum simpul (ketawa kecil) masuklah si putri ke Pendopo Kadipaten. Ki Danawangsa berunding dengan temannya, kayu dititipkan sama temannya dan besok Ki Danawangsa akan datang lagi di tempat penjualan kayu bakar tersebut. Pulanglah Ki Danawangsa dengan berjalan kaki sambil melihat situasi daerah Brebes. Sesampai di rumah, Ki Danawangsa bercerita panjang lebar sama Ki Sutawiyana. Soal situasi daerah dan peristiwa-peristiwa yang sejak pagi sampai sore yang dia lakukan Ki Sutawiyana hanya tersenyum simpul saja. Setiap malam Ki Danawangsa jarang tidur sore. Selalu berdzikir, berdoa. Bayangan si putri Khabibah tak pernah musnah. Setelah beberapa hari kemudian Ki Danawangsa pergi ke Brebes, bertemu dengan teman penjual kayu bakar dan penjual kayu cerita bahwa kayu kemarin dibeli oleh pihak Pendopo. Ternyata pembeli kayu milik Ki Danawangsa adalah si Putri Khabibah maka terjadilah saling kenal antara Ki Danawangsa yang menyamar menjadi penjual kayu bakar dan si Putri Adipati putri Khabibah. Persahabatan keduanya pun makin dekat, erat dan supel. Hingga didengar oleh telinga sang Adipati yaitu Adipati Arya Singasari Panatayudha III (Raden Sarya). Kemudian Adipati memanggil penjual kayu bakar dalam hal ini Ki Danawangsa. Adi pati pun mempertemukannya dengan Si Putri Siti Kabibah dan benar apa yang selama ini Adipati dengar. Ketika keduanya diminta keterangan oleh Adipati dan Adipati melarang hubungan keduanya terutama kepada Ki Danawangsa malahan sang putri mohon ampun beribu ampun, bukan kang mas Danawangsa yang bersalah, melainkan sang putri sudah kadung tresna. Sang putri Siti Khabibah dengan menangis malahan menyatakan cintanya. Selama Ki Danawangsa dan si putri menjalin persahabatn saat-saat itu kondisi kesehatan Ki Sutawiyana jatuh sakit dan meninggal. Maka Ki Danawangsa sering bermain ke rumah Ki Kertawiyana adik dari Ki Sutawiyana yang rumahnya di pedusunan sebelah selatan sekarang adalah Desa Siandong.
Melihat ketulusan hati sang putri dan tangisnya tidak meluluhkan hati sang Adipati. Kanjeng Adipati dengan tegas tidak berkenan kalau putrinya menjalin hubungan dengan Ki Danawangsa. Si Putri pun berontak, sambil sujud dihadapan ayahnya Kanjeng Adipati Arya Singosari Panathayudha III. Kanjeng Adipati Arya Singosari Panatayudha III. Bagaimanapun si putri sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan Ki Danawangsa. Kanjeng Adipati geram, dan saking geramnya diusirlah sang Putri. Namun Si Putri Siti Khabibah tetap menghadap dan bersujud, hingga Keduanya saling rangkul merangkul. Melihat glagat itu Kanjeng Adipati tergugah dan dengan terpaksa memerintahkan kepada panakawan-panakawan Pendopo agar dipersiapkan andong-andong dengan kudanya sekalian. Arak dia kemana saja ! asal pernikahan jangan disekitar pendopo, Ujar Kanjeng Adipati. Kemudian seluruh abdi dalem pendopo mempersiapkan andong dan kudanya beriring-iring disertai pasukan kudanya menuju pernikahan di pedusunan yang Ki Kertawiyana tempati. Tersebarlah suara bahwa penikahan Ki Danawangsa diiring-iring banyak andong maka dusun tersebut dinamakan Andong. Rombongan andong dan pasukan kuda pulang ke pendopo kanjengan dan esok harinya Ki Danawangsa dan Siti Habibah kembali ke Sitanggal untuk menempati rumah almarhum Ki Sutawiyana diantar sama Ki Kertawiyana. Ki Danawangsa da Siti Habibah menempati rumah terpencil, tak satupun rumah tangga yang dekat, tapi kehidupannya sangat harmonis. Pernikahan Siti Khabibah dan Ki Danawangsa diperkirakan terjadi pada akhir tahun 1875, di akhir-akhir kekuasaan Raden Sarya selaku Kanjeng Adipati Arya Singsari Panata Yudha III.
Seperti biasanya Ki Danawangsa senang mencari sahabat, senang bermasyarakat sehingga ketika ada berita bahwa akan adanya pembentukan Kepala Kuwu atau Lurah, maka masyarakat memintanya. Sebenarnya Kanjeng Adipati kemudian sudah memaafkan kedua anak dan menantunya dan berniat mengukuhkan Ki Danawangsa sebagai Lurah Desa Sitanggal. Namun sejarah menyebut bahwa rakyat Desa Sitanggal dengan sendirinya mufakat memilih Ki Danawangsa menjadi Lurah. Maka Jadilah Ki Danawangsa terpilih menjadi lurah yang pertama di Desa Sitanggal. Kanjeng Adipati pun merasa turut bangga. Ki Danawangsa dilantik menjadi Lurah diperkirakan pada 1 Syuro 1292 H, yaitu pada tahun terakhir kekuasaan Arya Singasari Panata Yudha III (1876 M).
Di bawah kepemimpinan Ki Danawangsa jangankan masyarakat desa sendiri desa-desa lainpun simpati kepadanya. Beliau senang berorganisasi, anak-anak muda dibina, dibentuk suatu paguyuban jamiyah sambil dilatih memukul terbang jawa. Orang-orang jualan yang datang dari penjuru desa berceceran dipinggir jalan oleh ki lurah diperintahkan agar semua orang jualan ditampung kumpul dari satu ditempatkan di tanah milik Ki Lurah. Semakin hari pedagang dari antar desa berdatangan. Salah satu pedagang dari jatibarang sepulang dagang dari Sitanggal bercerita bahwa di Desa Sitanggal ada lurah yang manampung padagang yang diajak cerita kebetulan orang blok Jatibarang Utara (Desa Lawa). Seorang desa Lawa merasa terpanggil dan datang ke Sitanggal menghadap Ki Lurah yang kebetulan orang tersebut pernah menjadi anak asuhannya waktu masih bergerilya sambil mendirikan Paguyuban Santri Jawa. Orang yang dari Desa Lawa tidak pangling, bahwa Ki Lurah betul-betul orang yang bekas memimpin gerilya lewat pondok pesantren Lawa. Tersebarlah berita Ki Lurah Sitanggal, yang kemudian datang rombongan dari pesantren Lawa, minta pekerjaan membuka tanah lahan perladangan. Ki Lurah selalu memberikan apa-apa yang diminta oleh rombongan pesantren Lawa, baik alat-alat pertanian, maupun bibit-bibitnya. Namun setelah mereka dapat ladang cukup untuk dioleh, masing-masing pinjam bibit padi sama Ki Lurah. Beberapa kali mengelola tanaman, Ia belum pernah menikmati hasil karena masih hewan-hewan pemakan padi, seperti burung, babi hutan, tikus dan lain-lain. Saat itu orang-orang Lawa bingung karena punya tanggungan sama Ki Lurah. Kemudian secara bersama-sama orang-orang Lawa menghadap dan pinjaman alat-alat pertanian berserta bibit padinya tidak dapat mengembalikan dan diperhitungkan dengan lahan mereka masing-masing. Walaupun demikian Ki Lurah tetap memberikan pesangon dan selalu memberikan arahan-arahan yang baik. Rombongan Lawa tidak putus atas tetap membuka ladang semakin luas ke arah selatan. Di sebelah selatan orang-orang Lawa buka lahan, di sana ada harapan panen, sebab sampai tanaman hampir dipanen belum pernah terserang hama tikus dll. sangkin senangnya orang-orang Lawa mengadakan pengajian dan Ki Lurah diundang. Setelah bubar pengajian Ki Lurah omong-omong dengan para santri bahwa yang terakhir ini kamu akan selalu memetik hasil tanamannya, makanya kalau mau bercocok tanam padi di tanah yang mencil itu. Konon tanah yang mencil oleh Ki Lurah dinamakan SiKancil
Dari pernikahan Ki Lurah dengan Siti Habibah, Ki Danawangsa dikarunia 8 orang anak. Terdiri atas 6 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Anak pertama laki-laki yaitu Wangsadriya (H. Tayib), anak kedua laki-laki yaitu Haji Abdul Karim (lebih dikenal dengan telang anak Kaji Sirad), anak ketiga adalah perempuan yaitu Siti Maesaroh yang lahir kembar dengan anak kedua H. Abdul Karim. Menurut kepercayaan masyarakat jawa (setempat), jika lahir anak kembar semacam itu dapat membawa musibah bagi keluarga. Sehingga Ki Lurah menitipkan Siti Maesaroh kepada seorang tokoh masyarakat di Desa tegalglagah (belum diketahui siapa namanya), sebuah Desa di sebelah utara Sitanggal. Ki Lurah memberikan bekal harta, sawah ladang, emas dan lain-lain bagi kesejahteraan anak yang dititipkannya yaitu Siti Maesaroh. Posisi sejarah anak ketiga dititipkan, bagaimana anak keturunannya, apakah menjalin hubungan keluarga dengan saudara-saudara yang lain atau tidak sampai kini kurang diketahui. Sebab Siti Maersaroh dititipkan oleh Ki Lurah semenjak masih bayi cemenang cenang setelah aqiqah. Mungkin garis kehidupan dan sejarah baninya ikut lebur dan menyatu dengan keluarga yang diikutinya. Anak keempat laki-laki yaitu Haji Sulaiman lebih dikenal dengan Manten Ambyah (telang anak tunggalnya yaitu Ambyah). Anak kelima perempuan yaitu Rimbi yang kemudian menikah dengan Arif (Haji Abdul Salam). Anak keenam laki-laki yaitu Dasian dengan telang anak Seba. Anak ketujuh laki-laki yaitu Darsipan. Anak ke delapan laki-laki yaitu Runda dengan telang anak Naisah. Anak keturunan Runda berkembang dan beranak pinak di Daerah Andong. Sekarang Desa Siandong, makam keluarga besar Bani Naisah berada di lancipan pasar Lanjaman Desa Sitanggal berbatasan dengan Desa Siandong sekarang.
Selama kepemimpinan Ki Lurah Desa Sitanggal berkembang pesat. pada masa-masa awal kepemimpinannya Ki Lurah membangun Balai Desa di tahun 1876 M (di halaman SDN 2 Sitanggal dulunya adalah Balai Desa pertama dengan geribik dan kayu jati). Bangunannya sampai dengan tahun 1980 masih ada, namun dengan adanya pembangunan SD Inpres yang terus berkembang kini artefak sekaligus warisan budaya (heritage) tersebut kini punah. Balai Desa tersebut kini berpindah di sebelah utara masjid Sitanggal dan dibangun lebih modern ketika Lurah Tung serta direnovasi dengan panggung budaya ketika masa Lurah Caretaker Muhaimin Badri. Untuk kesejahteraan rakyatnya saluran irigasi dibangun. Sebelah timur desa yaitu di sungai (sekarang terkenal dengan istilah buangan terletak di sebelah timur lapangan) dibangun pintu air, bekasnya sampai sekarang masih ada. Pintu air tersebut kini dikenal dengan nama Doorlat, sebuah pintu yang pernah dijadikan petilasan bertapa oleh Ki danawangsa yang dibangun tahun 1875.
Selain itu di sebelah barat selatan sekarang timur pedusunan Blewah dibangun pintu air yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Pintu Danawangsa. Pintu Danawangsa dibangun pada tahun 1877 dan sangat dihargai oleh PG Belanda, yaitu PG Banjaratma. Karena selain mengairi sawah sekitarnya maka sangat bermanfaat buat irigasi tanaman tebu. Pada tahun 1878 Ki Lurah Danawangsa juga membangun lumbung desa untuk menyimpan hasil panen. Lumbung Desa tersebut dulu terletak di dekat PAK, PAK adalah istilah pegadaian pada zaman Belanda. PAK dan Lumbung Desa itu sendiiri kini sudah berubah fungsi menjadi pusat pertokoan, elektronik, apotik, Rumah makan, meubel dan Bank yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI Unit Sitanggal). Selebihnya kini menjadi pemukiman penduduk. Untuk pertumbuhan ekonomi desa Ki Lurah juga membangun sarana Pasar Desa. Yang menurut sejarah awalnya bernama Pasar Danawangsa. Pasar Danawangsa mulai ada sekitar tahun 1878. Mulanya Ki Lurah mempersilahkan para pedagang menggunakan tanah di sekitar perempatan Sitanggal untuk berjualan. Lalu dibangunlah kios-kios sederhana di pinggir jalan sekitar perempatan. Pada masa tersebut para pedagang tidak dikenai pajak atau upeti, namun para pedagang secara sukarela kadang selepas berdagang memberikan hadiah kepada Ki Lurah atau keluarganya. Yang berdagang sayur memberi hadiah sayur, dan yang berdagang jajanan pun memberikan hadiah jajanan. Tradisi ini masih berlangsung hingga ke generasi anak dari Lurah ketiga Sitanggal yaitu Lurah Ambyah. Selanjutnya setelah berkembang pesat posisi kepemilikan pasar berpindah menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten.
Selanjutnya masuknya pengaruh gerakan di Tiongkok akhir abad XIX dan awal abad XX, di Hindia Belanda dalam wujud berdirinya Rumah Perkumpulan Tionghoa atau Tiong Hoa Hwee Koan pada 17 Maret 1900 di Batavia (sumber wikipedia). Setahun kemudian, bak cendawan di musim hujan, di banyak kota di Jawa berdiri sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan. Tidak hanya sekolahan-sekolahan Tiong Hoa Hwee Koan berdiri, juga surat-surat kabar yang pada umumnya berbahasa Melayu-Tionghoa bermunculan. Termasuk surat kabar yang kemudian paling handal, Sinpo, muncul terbit oleh dorongan kebangkitan bisnis Tionghoa yang semula bersumber dari bumi Tiongkok. Orang-orang Tionghoa pun kemudian berdagang dan menyebar ke seluruh antero tanah Jawa. Mereka masuk mulai dari Kota-kota pesisir hingga ke kota kecil di pedalaman/tengah pulau Jawa. Tak terkecuali dengan Sitanggal. Dua puluh tahun sejak berdirinya pasar Sitanggal, perekonomian di Sitanggal berkembang pesat. Hingga diperkirakan mulai tahun 1910 an masuklah pedangang Tionghoa ke Pasar Sitanggal. Budaya dan ilmu bisnis yang dimiliki kaum Tionghoa lebih maju dibandingkan para pribumi. Makin maju usaha seorang tionghoa di Sitanggal membawa pengaruh terhadap keluarga Tionghoa lain untuk berdagang di Sitanggal. Sehingga dari yang semula keluarga Tionghoa kecil kemudian beranak pinak dan berdagang, membangun toko di komplek pasar Danawangsa Sitanggal.
Konon menurut cerita orang tua dahulu perekonomian Sitanggal hingga tahun 1945 sangatlah maju. Ada pasar, banyak toko tionghoa di pinggir jalan dan ada pegadaian. Ada pemeo yaitu Desa yang perekonomiannya berkembang pedagang Tionghoa maka dapat disebut Desa maju atau kota kecil. Namun sejarah kaum Tionghoa pun mulai pudar. Sejak agresi militer Belanda ke-II, yaitu mulai tahun 1949 iklim dagang yang kondusif menjadi kacau. Selanjutnya perang segitiga antara Belanda melawan Tentara republik Indonesia dan melawan DI/TII menambah suasana politik dan konflik horisontal yang tidak menentu. Maka semenjak tahun 1950 an para pedagang Tionghoa di Sitanggal mulai eksodus dari Sitanggal. Mereka sebagian berpindah ke Kota Kabupaten atau kecamatan lainnya yaitu pindah ke Brebes, Slawi dan Tegal. Sebagian masih bertahan di Sitanggal. kembali situasi kacau muncul di tahun 1965, pemberontakan G30S PKI dan konflik horisontal pun membuat warga Tionghoa yang masih Tinggal di Sitanggal eksodus ke Kota lain. Diperkirakan pada akhir tahun 1969 an sudah tidak ada pedagang Tionghoa di Sitanggal. Selain karen konflik horisontal tahun 1965-1967, maka posisi Sitanggal yang bukan Kota Kecamatan, yang tidak ada kantor Koramil dan Kepolisian membuat perdagangan mereka tidaklah nyaman. Mereka pun habis dan berpindah ke Tanjung, Banjarharjo, Jatibarang, Brebes, Slawi dan Tegal. Pedagang Tionghoa kembali ke Sitanggal di era Pasar modern Sitanggal yaitu di tahun 1982 an, yaitu dengan ditandainya dengan masuk dan berdagangnya keluarga China Eko dari Tanjung. Kini Sitanggal kembali menjadi Desa maju yang multi etnis dengan pasar yang lebih modern dan dengan ditandainya lampu merah yang menyala di perempatan Sitanggal di tahun 2017.
Ki Lurah juga membangun sarana beribadatan yang awalnya Musholla di tahun 1877 M. Musholla Kemudian berkembang menjadi Masjid. Masjid Sitanggal dibangun pada masa pemerintahan periode kedua yaitu Masa lurah Haji Sulaeman hingga Lurah ketiga Ambyah. Yang mana tanah wakafnya berasal dari Bani Sajim yang konon masih keturunan dari Haji Tayib anak pertama Danawangsa. Pioneer pembangunannya adalah Haji Abdul Karim hingga anaknya yaitu Haji Sirad yang memobilisator pembangunan Masjid Jami Sitanggal. yang pembangunannya kemudian diteruskan dan didukung sepenuhnya oleh pihak keluarga dan masyarakat, Terutama keluarga dari Haji Abdul Karim seorang tokoh agama putra kedua Ki Danawangsa. Masjid modern sendiri dengan desain artistik terbangun pada masa pemerintahan Lurah ketiga dengan pioneernya adalah Haji Sirad cucu dari manten Lurah Danawangsa. Masjid tersebut bertahan hingga tahun 1985, karena pada tahun 1986 melalui tokoh Haji Effendi dan dukungan masyarakat kemudian dipugar seperti sekarang.
Dalam bidang pendidikan Ki Lurah Danawangsa berhasil mendirikan Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat untuk kelas bawah dari Kelas 1 hingga kelas 3 yang sekarang menjadi SDN Sitanggal 2 yang dulu letaknya berhadapan dengan Bale Desa dan Sekolah rakyat yang kelas nya hingga kelas atas yaitu hingga kelas 4, 5 dan 6 yaitu yang sekarang dikeanal SDN Sitanggal 1. SDN Sitanggal 1 pada zaman dahulu adalah sekolah rujukan bagi seluruh Desa tetangga yang ingin melanjutkan ke kelas atas baik dari Tegalglagah, Slatri, Rengaspendawa, hingga Jubang dan Cipelem. Sekolah Rakyat yang kini SD Negeri Sitanggal 1 gedungnya dibangun kokoh, indah dan menarik pada masa akhir kekuasaan Ki Lurah Danawangsa yaitu sekitar tahun 1907 hingga 1910 Masehi. Bukti tahun pembangunannya pada masa itu konon masih ada hingga sekarang karena terbuat dari kayu jati berkualitas hingga pada rehab SD di masa modern tetap dibiarkan adanya. SDN Sitanggal 1 adalah satu-satunya warisan budaya(heritage) dari zaman Ki Lurah Danawangsa yang masih ada hingga sekarang dan layak dipertahankan. Jika perlu wajib oleh Pemerintah Kabupaten Brebes dijadikan sebagai cagar Budaya kabupaten agar tidaklah hilang sebagaimana bangunan lainnya, contohnya Pabrik Gula Banjaratma yang tidak terurus.
Kedua sekolah hasil kerja keras Lurah pertama baik SDN Sitanggal 1 dan Sitanggal 2 hingga kini masih diterima warga masyarakat. SDN Sitanggal 1 dan Sitanggal 2 pernah menjadi pilihan utama masyarakat. Kedua sekolah tersebut telah mencetak kader yang sukses di masyarakat baik dalam bidang pemerintahan maupun swasta. SDN Sitanggal 2 bahkan di era 1980 an pernah menjadi SD pembina dan selalu bersaing ketat dengan SDN Sitanggal 1. Namun di era sekarang setelah era BOS, nampaknya mulai tertinggal dibandingkan dengan sekolah Madrash. Sekolah Madrasah yang mendapat dukungan penuh dari tokoh-tokoh agama kini lebih berkembang maju dan lebih mendapat tempat di masyarakat.
Kemakmuran warga masyarakat Sitanggal begitu meningkat semenjak kepemimpinan Ki Lurah Danawangsa. Warga masyarakat mampu membayar pajak kepada pemerintah kadipaten dengan baik. Ki Lurah juga mampu memberikan Upeti/hadiah yang cukup untuk Pemerintahan. Atas suksesnya dalam membangun tanah perdikan Sitanggal menjadi desa yang maju Kanjeng Adipati mengukuhkan gelar kepada H. Abdul Syukur (nama sebenarnya) dengan gelar Ki Lurah Danawangsa. Kerja keras Ki Lurah dalam babad alas dan membangun telah menempatkan posisi Sitanggal seakan-akan sebagai tanah perdikan yang istimewa di Kadipaten Brebes. Tidak ada petunjuk yang pasti Ki Lurah Danawangsa memerintah hingga tahun berapa, namun diperkirakan menjadi Lurah Pertama dari tahun 1876 hingga 1910. Jabatan periode kedua Lurah Sitanggal berikutnya dipegang oleh H. Sulaeman anak keempat dari Ki Danawangsa yang diperkirakan menjadi lurah dari tahun 1910 hingga 1918.
Nama Ki Danawangsa kini diabadikan menjadi nama PKBM Danawangsa yang bergerak dalam bidang sosial pendidikan baik PAUD, Sekolah Kesetaraan, Sekolah Keaksaraan, Taman Baca Masyarakat, Pendidikan Kursus, dan Kesetaraan gender. Hal ini sesuai dengan visi misi Ki Danawangsa yaitu membangun Sitanggal tiada henti, membangun Sitanggal dimulai dari membangun dunia pendidikan.
D. Sejarah Urutan Lurah Sitanggal dari Masa ke Masa dan Tilasnya
Alhamdulillah hasil penelusuran sejarah urutan lurah Sitanggal sudah kelar. Hasil ini diperoleh dari berbagai nara sumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Melalui teknik wawancara baik langsung atau tidak langsung diperoleh urutan lurah yang menjabat di Desa Sitanggal. Hasil ini final, karena keterlibatan berbagi pihak yang sangat membantu pendataan khususnya para Relawan Literasi Tangguh (RESITA). Para relawan literasi Sitanggal telah membatu dalam hal menggali data mengenai keberadaan sejarah para Lurah yang pernah menjabat di Desa Sitanggal baik yang definitif ataupun yang caretaker. Keberadaan data sejarah mengenai para Lurah yang menjabat di Sitanggal sangatlah penting bagi generasi yang akan datang. Keberadaan data para Lurah lengkap dengan tahun menjabatnya sangat membantu kelengkapaan cerita sejarah Sitanggal dari masa Sitanggal di era kuno dan sejarah Sitanggal di era modern. Data tentang keberadaan para Lurah di sitanggal sebenarnya telah cukup lama digali dan dikumpulkan setahap demi setahap oleh sosok pegiat literasi yaitu oleh Kang Noto. Setidaknya data telah dikumpulkan dari tahun 2010. Alhamdulillah, melalui spirit lahirnya Kampung Literasi di Sitanggal Lor sebagai kampung percontohan gerakan literasi bagi kampung-kampung lainnya di Sitanggal maka spirit pencarian sejarah periodesasi para Lurah menggelora tentu dengan bantuan para relawan literasi. Dari draft awal yang dimiliki oleh kang Noto, maka dengan dilakukan wawancara kepada para tokoh sepuh yang ada yang lebih beragam. Data yang lama kemudian disempurnakan. Contohnya dalam draft beberapa Lurah yang pernah menjabat tertulis dengan nama panggilan aja, nama sebutan aja, contohnya Lurah Tung, Lurah Tomblong dan Lurah Kaji Nur. Maka dengan melibatkan para relawan literasi, dengan melibatkan nara sumber yang bervariasi, dengan mencari sumber dari keturunannya dan dengan teknik pendataan dan penyimpulan yang lebih halus diperoleh data yang lebih valid tentang nama sebenarnya dan perkiraan tahun menjabatnya. Beberapa data yang sudah ada atau dari sumber yang berbeda pun lalu dikonfirmasikan, diklarifikasikan dan dikonfrontasikan untuk kebutuhan sejarah sitanggal yang lebih halus. Contohnya, pada catatan sejarah yang lama Lurah ketiga adalah Seba atau Runda anak terakhir Haji Abdul syukur yang biasa dikenal dengan telang anak Naisah. Namun dari keterangan Mbah Masduri sosok yang pernah menjabat lebe di Sitanggal dan pernah menjadi cari Si Andong selaku anak keturunan terdekat dari Bani Naisah menyatakan bahwa Runda tidak pernah menjadi Lurah di Sitanggal. Menurut keterangan Masduri dan keterangan tokoh lain seperti Sugito cucu dari Ambyah, maka Lurah ketiga adalah Ambyah anak dari Haji Sulaeman Lurah kedua Sitanggal.
Dalam draft awal Lurah keempat adalah Kaji Nur dan kelima adalah Tomblong. Namun dari hasil penelusuran berikutnya ternyata terbalik. Dari hasil wawancara dengan mantan Lurah Suhudi seorang tokoh yang pernah menjadi Lurah pertama Si Andong juga dengan istri beliau, kebetulan Manten Suhudi masih keturunan Lurah Tomblong sedangkan istrinya masih keturunan Lurah Kaji Nur maka data yang benar adalah Lurah keempat Sitanggal adalah Lurah Tomblong dan selesai itu dilanjutkan oleh Kaji Nur. Dari hasil wawancara maka didapat bahwa nama sebenarnya dari Lurah Tomblong adalah Soja Kartawijaya yang menjabat kurang lebih 24 tahun dari tahun 1921 M hingga 1944 M. Sedangkan Lurah berikutnya atau Lurah kelima nama lengkapnya adalah Haji Nur Rais yang menjabat kurang lebih 5 tahun dari tahun 1944 M hingga 1949 M. Haji Nur Rais dikenal sebagai sosok Lurah linuwih yang memiliki ilmu kanuragan tinggi yang secara definitif dipercaya oleh rakyat walaupun tidak bisa baca tulis dengan baik. Dari hasil pendataan yang lebih paripurna maka untuk Lurah pertama dan Lurah kedua Sitanggal tidaklah diragukan lagi. Lurah pertama Sitanggal adalah Haji Abdul Syukur biasa dikenal masyarakat Sitanggal dengan Danawangsa. Lurah Danawangsa menjabat kurang lebih 35 tahun dari mulai tahun 1875 M hingga 1910 M. Sedangkan Lurah keduanya adalah anak keempat dari Danawangsa yaitu Haji Sulaeman yang menjabat kurang lebih 4 tahun dari tahun 1918 M hingga tahun 1921 M. Sebagian Lurah definitif Sitanggal ternyata tidaklah menjabat dalam waktu lama. Sebagian menjabat singkat-singkat saja. Hal itu karena konon pada masa lalu pun sudah dikenal istilah protes dari warga masyarakat sebagian lain menjabat singkat karena faktor lainnya. Dari hasil penelusuran sejarah Lurah keenam adalah Tar'an yang diperkirakan menjabat kurang lebih 4 tahun yaitu dari tahun 1949 M hingga tahun 1952 M. Lurah Tar'an konon mati ditembak DI/TII tahun 1952 M Selesai Lurah Tar'an jabatan dipegang caretaker Lurah Asmawi seorang guru ngaji atu Ustad yang berasal dari Jatibarang menantu Haji Sirad seorang tokoh agama. Haji Sirad ini adalah anak dari Haji Abdul Karim, sedangkan Haji Abdul Karim adalah anak kedua dari Haji Abdul Syukur (Danawangsa). Ustad Asmawi menjadi Pelaksana Tugas atau caretaker Lurah kurang dari 1 tahun yaitu di tahun1952 M. Konon pada tahun 1952 Ustad Asmawi bersiasat jika siang menjadi Lurah NKRI bareng TNI, namun jika malam harus pura-pura jadi Lurah DI. Caretaker Lurah Asmawi mengantarkan Sitanggal hingga PILKades berikutnya. Pada Pilkades berikutnya terpilih Sukadi Lurah ketujuh definitif Sitanggal. Lurah Sukadi pun menjabat singkat kurang dari 4 tahun dari tahun 1952 M hingga tahun 1955 M. Dalam sejarah Sitanggal Ustad Asmawi adalah Lurah caretaker pertama. Selanjutnya Lurah Sukadi digantikan lurah caretaker yaitu Haji Mahmud bin Muhdor yang menjabat hanya 3 bulanan pada tahun 1955 M. Haji Mahmud bin Muhdor adalah lurah kedua caretaker di Sitanggal setelah Ustad Asmawi. Haji Mahmud bin Muhdor adalah Lurah caretaker yang dipaksa turun oleh masyarakat. Tetapi memiliki prestasi berhasil menjalankan Pilkades tahun 1955. Pilkades th 1955 diikuti oleh beberapa calon antara lain, Asma Asastro (Siandong), Haji Syakur (Lamaran) dan......Selanjutnya dalam Pilkades tahun 1955 Asma Asastro berhasil memenangkan pucuk pimpinan tertinggi di Sitanggal. Maka Lurah definitif kedelapan di Sitanggal adalah Asma Asastro yang masyarakat biasa mengenalnya dengan Lurah Tung. Dalam draft sejarah lurah awal pun tertera nama Lurah Tung, akan tetapi melalui para relawan literasi khususnya Muji Handoko yang menikahi cucu dari Lurah Tung didapat bahwa nama asli Lurah Tung adalah Asma Asastro. Dari hasil penelusuran sejarah dari berbagai sumber Lurah Tung menjabat cukup lama yaitu kurang lebih 17 tahun yaitu mulai tahun 1955 M hingga tahun 1972 M. Menurut catatan sejarah dari Lurah pertama definitif hingga Lurah kedelapan definitif belum ada pembatasan periodesasi Kepala Desa secara hukum. Seorang Lurah atau Kepala Desa pada masa itu bisa menjabat lama atau singkat hanya 4 tahunan. Lurah definitif berikutnya setelah Lurah Tung adalah Haji Mahmud Astari yang menjabat dari tahun 1972 M hingga tahun 1982 M. Sejarah mencatat Pilkades pada masa Haji Mahmud Astari yaitu Pilkades tahun 1972 adalah Pilkades yang paling seru dan penuh dengan intrik politik tingkat tinggi. Pilkades 1972 diikuti oleh H. Mahmud Astari (Penjalinbanyu), H. Syakur (Lamaran), Carik Margo (Sitanggal), Mashadi anaknya Haji Sirad (Sitanggal), Badri Tentara (Sitanggal), Syamsi belakangan dikenal dengan Kaji Syam (Sitanggal), , Jaenal (Siandong) dan Ulu-ulu Weyek (Sitanggal). Rival berat Haji Mahmud Astari adalah Carik Margo dan Raswad atau sering dipanggil dengan sebutan Ulu-ulu Weyek. Pilkades pada masa itu berlangsung dua putaran. Pada putaran pertama dimenangkan oleh Weyek namun dengan selisih suara yang tidak signifikan dengan Haji Mahmud Astari. Tidak jelas karena sebab apa, namun Pilkades dilanjutkan dengan putaran kedua antara Haji Mahmud Astari versus Weyek. Weyek adalah seorang Pamong Desa Sitanggal keturunan dari Naisah dan jika ditarik ke atas masih keturunan Danawangsa. Sedangkan Haji Mahmud Astari adalah seorang tokoh agama dari Penjalinbanyu Andong. Banyak isu-isu politik pada Pilkades kali itu dan pada putaran kedua dimenangkan oleh Haji Mahmud Astari. Dengan demikian Lurah ke Sembilan definitif Sitanggal. Lurah Mahmud menjabat dari tahun 1972 M hingga tahun 1982 M. Kembali pada tahun 1982 M di zaman Bupati Brebes dijabat oleh Sartono Gondo Suwandito, tanpa sebab yang jelas Lurah Haji Mahmud Astari dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh caretaker Muhaimin Badri. Muhaimin Badri adalah birokrat yang berasal dari Brebes Selatan dari daerah Bantarkawung Bumiayu. Muhaimin Badri dalam sejarah Kepala Desa Sitanggal menjadi Lurah caretaker ketiga setelah Ustad Asmawi dan Mahmud bin Muhdor. Muhaimin Badri memegang rekor jabatan caretaker terlama hingga hampir tiga tahun dari tahun 1982 M hingga tahun 1984 M. Sejarah kemudian berbalik, adalah sosok Romli seorang terpelajar, sosok tokoh masyarakat yang kemudian mengetahui bahwa besluit atau SK keputusan lurah Sitanggal pada data di tingkat Gubernuran tercatat masih Haji Mahmud Astari. Maka melalui bantuannya, jabatan Lurah Sitanggal kemudian dikembalikan ke Lurah Mahmud pad masa Bupati Syafrul Supardi. Haji Mahmud Astari pun kemudian melanjutkan jabatan Kepala Desa dari tahun 1984 M hingga tahun 1989 M. Selanjutnya selesai habis jabatan Lurah Mahmud diadakan kembali pesta demokrasi. Pada masa kekosongan jabatan menjelang Pilkades Pelaksana Tugas Kepala Desa Sitanggal dijabat oleh Pamong Masduri. Masduri menjadi caretaker Lurah keempat Sitanggal karena Sekdesnya yaitu Carik Fakhrurrozi ikut berkompetisi dalam Pilkades 1989. Ada banyak calon pada Pilkades 1989: 1) dari dusun Si Andong muncul calon Suhudi, 2) dari dusun Lamaran muncul calon Carik Fakhrurrozi, 3) Dari Sitanggal muncul calon Rofi'i, Effendi Saleh dan Romli. Datangnya tokoh baru dari jakarta yang kembali ke Desa yaitu Bintang Film Bandung Lautan Api Rofi.i Salim membuat peta kekuatan Pilkades 1989 menarik perhatian. Walau tidak dengan modal uang banyak namun ketokohannya saat sukses di Jakarta berhasil memenangkan Rofii Salim menjadi Lurah baru menggantikan H. Mahmud Astari. Rofii Salim selanjutnya menjabat Lurah Definitif kesepuluh yang melalui Pilkades. Lurah Rofii menjabat kurang dari 6 tahun mulai tahun 1989 M hingga tahun 1994 M. Beliau meninggal pada tahun 1984 karena sakit dan tidak dapat meneruskan jabatannya hingga selesai. Selama sakit parah hingga meninggalnya posisi Lurah di emban oleh Pelaksana Tugas Kepala Desa yaitu Carik Fakhrurozi. Carik Fakhrurrozi menjadi Caretaker Lurah kelima dalam sejarah Lurah caretaker Sitanggal. Carik Fakhrurrozi menjadi caretaker lebih dari setahun dari tahun 1994 M hingga tahun 1996. Beliau pun kemudian sakit dan meninggal pada tahun 1996. Lalu posisi PLT atau Pelaksana Tugas dipegang oleh YMT Kepala Desa Sitanggal yaitu Bau Junaidi. Bau Junaidi menjadi caretaker Lurah keenam Sitanggal. Bau Junaidi ini adalah anak dari Lurah Definitif kedelapan yaitu Lurah Tung. Bau Junaidi menjabat YMT Kades kurang lebih 3 bulan pada tahun 1996. Selanjutnya posisi caretaker Kepala Desa dipegang oleh PJ Rosikhin selaku pegawai Kecamatan Larangan. Rosikhin atau yang lebih familiar dipanggil Lurah Iing menjadi Lurah caretaker ketujuh Sitanggal. Rosikhin menjabat PJ Kades lebih dari 1 tahun dari tahun 1996 M hingga tahun 1997 M. Setelah selama tiga tahun posisi Kepala Desa Sitanggal dipegang oleh PJ, YMT dan PLT tibalah kembali hajat demokrasi di tingkat Desa yaitu Pilkades. Pada Pilkades 1997 PJ Rosikhin pun ikut mencalonkan diri dalam hingar bingar demokrasi Desa dengan ikut berkompetisi bersama sejumlah calon lainnya. Untuk itu dalam masa persiapan Pilkades hingga selesai maka kembali posisi Kepala Desa Sitanggal dipegang oleh YMT Wasro Effendi seorang PNS Kecamatan Larangan. Wasro Efendi menjadi Caretaker Lurah kedelapan Sitanggal dan menjabat kurang lebih 3 bulan pada tahun 1997 M. Pilkades tahun 1997 cukup meriah karena diikuti oleh banyak pasangan. Pilkades 1997 diikuti oleh manten PJ Rosikhin dengan lambang kelapa (sitanggal), Hajah Kusyati dengan lambang Kacang (Sitanggal), Drs. Baedowi dengan lambang kapas (Sitanggal), Bau Rastori dengan lambang ketela Ssitanggal), Drs. Masud dengan lambang jagung (Lamaran), Ustad Salimudin dengan lambang padi (Lamaran). Hasil Pilkades sangatlah ketat selisih dari pemenang dengan nomor urut dua hanya 16 suara dan nomor urut dua dengan nomor urut tiga selisihnya hanya dua suara. Selisih suara yang amat sedikit antara Hj. Kusyati Kacang dengan Drs. Masud Jagung dan Bau Rastori ketela sempat meninggalkan gejolak khususnya dari kubu Masud dan Rastori. Hampir-hampir akibat gejolak tersebut Pilkaades diulang kembali, namun pada akhirnya Hajah Kusyati ditetapkan sebagai pemenang dan berhak menduduki pimpinan tampuk pemerintahan tertinggi di Sitanggal. Hajah Kusyati termasuk masih anak keturunan dari Lurah sebelumnya yaitu Lurah Tar'an. Hajah Kusyati berhasil menjadi Lurah definitif kesebelas melalui Pilkades. Tercatat dengan tinta emas bahwa Hajah Kusyati adalah Lurah Srikandi perempuan pertama dalam sejarah Sitanggal yang menjabat selama 8 tahun dari tahun 1997 M hingga tahun 2005 M. Beliau kemudian kesandung Raskin dan terpaksa dinon aktifkan/skorsing selama 6 bulan dari dari Kepala Desa. Posisi Kepala Desa dijabat caretaker Carik Drs. Hasanurdin dengan sebutan Pelaksana Tugas (PLT). Carik Hasan Nurdin menjadi caretaker Lurah kesembilan dalam sejarah Lurah caretaker di Sitanggal. Akan tetapi masa jabatan caretaker Carik Hasanurdin tidaklah lama, setelah masalah Raskin clear posisi Lurah dikembalikan ke Lurah Definitif Hajah Kusyati selanjutnya melanjutkan jabatan Lurah hingga selesai masa jabatannya di tahun 2005 M. Pasca menjadi Lurah Hj. Kusyati meneruskan bisnisnya dan posisi Lurah dijabat caretaker Kaur Keuangan Khamim. Munculnya nama Khamim dalam rapat BPD yang membahas caretaker lurah berikutnya tidak disangka-sangka sebelumnya. Karena sebelumnya beredar nama-nama lain yang digadang pula untk menjadi PLT antara lain Hasan Fudhori, SH mantan PLT Camat Banjarharjo dan Kaur Kesra Sulaeman dari Lamaran. Namun Rapat BPD yang diketuai oleh Somari akhirnya bulat merekomendasikan Kaur Keuangan Khamim ke Camat Larangan untuk diangkat menjadi caretaker PLT Lurah Sitanggal. Khamim akhirnya memegang caretaker dengan sbutan Pelaksana Tugas (PLT) dari tahun 2005 M hingga 2006 kurang lebih 6 bulan. Khamim pun tercatat menjadi Lurah caretaker kesepuluh untuk mempersiapkan jalannya Pilkades. Namun dalam Pilkades tahun 2006 PLT Kades Khamim ikut terjun mencalonkan diri sehingga posisi PLT Kades pun terlepas dan Pemerintah Kecamatan larangan menunjuk Pamong Sulaeman sebagai YMT Kepala Desa yang berkewajiban mengawal jalannya Pilkades hingga sukses. YMT Sulaeman tercatat menjadi caretaker Lurah kesebelas Sitanggal pada tahun 2006 M. Pada Pilkades tahun 2006 dikuti oleh banyak pasangan calon antara lain: PLT Bau Khamim (Sitanggal), Sutrisno (Lamaran), Drs. Baedowi (Sitanggal), Darto (Sitanggal Lor), Bukhaori (Sitanggal), Dra. Jamilah (Sitanggal) dan mantan Sekcam Hasan Fudhori SH (Sitanggal). Selama sejarah Pilkades Sitanggal belum pernah ada calon Lurah yang jadi dari Dusun lamaran. Namun setelah pada tahun 1997 M Dusun Si Andong dan Penjalin Banyu berhasil memisahkan diri menjadi Kelurahan, maka peta politik Desa berubah. Sejarah pun mencatat wakil Balon Lurah dari Lamaran yaitu Sutrisno berhasil memenangkan Pilkades tahun 2006 M. Lurah Sutrisno pun menjadi Lurah definitif ke kedua belas Sitanggal. Setelah satu periode menjabat selama 6 tahun maka pada tahun 2012 kembali diadakan Pilkades. Pada Pilkades tahun 2012 hanya diikuti oleh dua calon head to head antara incumbent Lurah Sutrisno (lamaran) melawan Drs. Baedowi (Sitanggal). Dalam head to head tersebut Pilakdes tahun 2012 dimenangkan oleh incumbent Lurah Sutrisno. Ada banyak petilasan dan hasil pembangunan dari para Lurah terdahulu. Namun sayangnya kurang dikenal oleh generasi sekarang. Jasa-jasa mereka pun seakan hilang. Ketika ada mahasiswa KKN membuat nama jalan, maka dengan kurang teliti muncul nama jalan bani Warso dan guru rahmat, sementara para Lurah terdahulu yang cukup berjasa belum ada nama jalannya. Untuk itu diharapkan sejarah tentang para Lurah sitanggal terdahulu menjawab keraguan warga untuk memberinya nama jalan. Ada banyak petilasannya dan sejarah pembangunan dari para Lurah sebelumnya yang belum terekspose baik. Tilas hasil pembangunannya dipandang penting untuk memberi spirit bagi seluruh Lurah Sitanggal yang akan datang dan untuk memberi spirit kepada seluruh warga masyarakat Desa Sitanggal dalam hal terus dan terus membangun desanya. Dari para Lurah terdahulu, maka Lurah pertam Haji Abdul Syukur yang dikenal dengan Danawangsa layak disebut sebagai Bapak Pembangunan Desa atau Founding Father Desa Sitanggal. Hal itu karena selama menjabat dalam waktu 35 tahun Ki Lurah berhasil membangun desa dengan pola manejemen pembangunan modern. Ki Lurah Danawangsa paham betul bahwa untuk membangun masyarakat Sitanggal yang berkemajuan dan sejahtera maka ada enam pilar yang wajib digarap yaitu Pemerintahan, perekonomian, pendidikan, peribadatan, pertanian dan ketahanan pangan. Pada bidang pemerintahan dibangun Balai Desa, pada bidang perekonomian dibangun pasar, pada bidang pendidikan dibangun Sekolah Rakyat, pada bidang peribadatan dibangunlah Musholla/Masjid, untuk pertanian yang maju dibangunlah irigasi/pintu air dan untuk ketahanan pangan dibangunlah lumbung desa.
Penting bagi seluruh warga masyarakat sitanggal untuk tahu hasil pembangunan para Lurah terdahulu. Kita warga masyarakat wajib belajar kepada para pemimpin kita dulu dan kepada masyarakat tempo dulu yang memiliki semangat gotong royong tinggi dalam membangun Desa. Para pemimpin Desa Sitanggal memiliki spirit membangun tinggi dan mempunyai filosophy kepemimpinan yang " Jer Basuki Mawa Beo, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani". Harus diakui setelah wajah Sitanggal berubah menjadi Kota ada satu budaya karakter yang mulai luntur yaitu gotong royong. Masyarakat pun mulai acuh dan tidak mau tahu menahu tentang sejarah cikal bakal desanya. Untuk itu penting buat kita mengingatkan dan mengenalkan kembali khususnya kepada seluruh generasi muda Sitanggal tentang sejarah desanya dan spirit yang dibangun oleh para founding father kita. Berikut perkiraan urutan lurah Sitanggal.
1. Lurah I, KH. Abdul Syukur (Danawangsa), Tahun menjabat 1876-1910, domisili Sitanggal
2. Lurah II, H. Sulaeman (Anak keempat Danawangsa), 1910-1918, domisili Sitanggal
3. Lurah III, Ambyah (Anak tunggal H. Sulaeman), 1918-1921, domisili Sitanggal
4. Lurah IV, Soja Kartawijaya (Tomblong), 1921-1944, domisili Si Andong
5. Lurah V, Nur Rais (Kaji Nur), 1944-1949, domisili Si Andong
6. Lurah VI, Tar'an, 1951-1952, Domisili Sitanggal
7. Caretaker I, Asmawi (Ustad Asma), 1952, Domisili Sitanggal
8. Lurah VII, Sukadi, 1952-1955, Domisili Si Andong
9. Caretaker II, H. Mahmud bin Muhdor, 1955, domisili Sitanggal
10. Lurah VIII, Asma Asastro (Tung), 1955-1972, domisili Si Andong
11. Lurah IX, Haji Mahmud Astari, 1972-1982, Domisili Penjalin Banyu
12. Caretaker III, Muhaimin Badri, 1982-1984, domisili Bumiayu
13. Lurah IX, Haji Mahmud Astari, 1984-1989, Domisili Penjalin Banyu
14. Caretaker IV, YMT Masduri, 1989, domisili Si Andong
15. Lurah X, Rofi'i, 1989-1994, domisili Sitanggal
16. Caretaker V, PLT Fakhrurrozi, 1994-1995, domisili Lamaran
17. Caretaker VI, YMT Junaedi, 1995-1996, caretaker Sitanggal
18. Caretaker, VII, PJ Rosikhin, 1996-1997, Domisili Sitanggal
19. Caretaker VIII, PLT Wasro Efendi, 1997,Temukerep
20. Lurah XI, Hj. Kusyati, 1997-2002, domisili Sitanggal
21. Caretaker IX, PLT Drs Hasanurdin, 2002-2003, domisili Sitanggal
22. Caretaker X, PLT Khamim, 2003-2004, domisili Sitanggal
23. Caretaker XI, YMT Sulaeman, 2004, domisili Lamaran
24. Lurah XII, Sutrisno, 2004- sekarang, domisili Lamaran
Dari tahun 1876 hingga sekarang Desa Sitanggal telah memiliki Lurah definitif sebanyak 12 Lurah. Di luar Lurah definitif Lurah bersifat sementara dikenal dengan banyak istilah. Di zaman dahulu dikenal dengan istilah Caretaker. Di zaman modern dikenal dengan sebutan Pelaksana Tugas (PLT), Penjabat (PJ), Yang Menjabat (YMT). Untuk lebih mudahnya semua Lurah yang menjabat sementara dalam penulisan digunakan istilah Cartaker. Lurah caretaker yang pernah bertugas di Sitanggal terdiri atas sejumlah 11 orang. Dengan demikian dari mulai pertama berdirinya Sitanggal hingga kini telah terdapat 23 Lurah dengan rincian 12 Lurah definitif dan 11 Lurah caretaker.Berikut adalah Peta Desa Sitanggal terkini.
Related Posts: