Nur Nadlifah : Kebhinekaan Bangsa Harus Dirawat


BREBES - Bekerja sama dengan Fatayat NU Brebes, Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi PKB Dapil IX Nur Nadlifah menggelar Sosialisasi Pancasila, NKRI, UUD RI Tahun 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, Sabtu 20 November 2021.


Dalam acara tersebut, Nur Nadlifah menyampaikan pentingnya nilai-nilai kebangsaan yang terangkum dalam 4 Pilar Kebangsaan dijadikan pijakan dalam setiap agenda Fatayat NU.


"Nilai-nilai kebangsaan harus menjadi pondasi dasar setiap gerakan Fatayat NU," ujar Nur Nadlifah.


Melalui sosialisasi tersebut, Nadlifah juga mengingatkan pentingnya merawat kebhinekaan, "Merawat kebinekaan merupakan kunci untuk menjamin berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanpa kebinekaan, bangsa ini tidak akan ada," imbuhnya.


Oleh karenanya, lanjut Nadlifah, Fatayat NU harus menjadi garda depan yang tidak pernah capek menyuarakan bahwa kebinekaan di bangsa ini harus dirawat.


"Kebinekaan adalah keniscayaan. Dan, bagi bangsa ini kebinekaan adalah kekuatan, maka harus dirawat," pungkasnya.

Related Posts:

Nur Nadlifah : Kolaborasi Semua Pihak Sangat Penting untuk Cegah Stunting


TEGAL ( cbm-news.com )  – Kolaborasi semua pihak sangat penting untuk pencegahan stunting, hal ini demi membentuk generasi yang unggul. Demikian disampaikan anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Hj. Nur Nadlifah, S.Ag,M.M pada acara Sosialisasi Penguatan Pendataan Keluarga dan Kelompok Sasaran bangga Kencana bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah di Lebaksiu Kabupaten Tegal, Sabtu (20/11/2021 ).

 

Nur Nadlifah menyampaikan, penanganan stunting harus dilaksanakan secara serius oleh BKKBN yang berperan sebagai leading sektor penanganan stunting.

 

“ Saya mengajak semua pihak untuk berjihad mencegah stunting berdasar kemampuan dan keahlian masing–masing dengan memberikan edukasi kepada masyarakat agar melakukan pencegahan,” katanya.

 

Untuk mencegah stunting, lanjut Nur Nadlifah, harus melibatkan semua elemen, terutama petugas kesehatan di lingkungan Puskesmas, Dinkes, bidan koordinator, dan petugas gizi. Selain itu, dalam rangka pencegahan ini juga melibatkan tokoh agama yang mengikuti pelatihan kesehatan dan Gizi.

 

“Untuk strategi informasi dan edukasi adalah melalui publikasi di berbagai media baik itu cetak, online, elektronik termasuk media sosial. Semoga dengan memaksimalkan upaya tersebut, jumlah stunting menjadi menurun,” pungkasnya.

Related Posts:

PPMN Gelar Pelatihan Gender In Media


JAYAPURA ( trelepmedia.com ) - Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) melalui Jurnalis Warga Kota Jayapura melaksanakan kegiatan Membangun Media Yang Berperspektif Gender Sebagai Ruang Aman Bagi Perempuan. 13/11/2021

PPMN merupakan organisasi nonprofit yang bertujuan untuk mengembangkan profesionalisme media dan memperluas akses informasi di Indoensia serta berbagai Negara di Asia, melalui peningkaan kapasitas pekerja media, baik dalam skala nasional maupun local.

Kegiatan ini di fasilitasi oleh Hiswita Pangau dari Jurnalis Warga (JW) bersama narasumber dari Paralegal LBH Papua dan  9 orang jurnalis, dan kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari Training Of Trainer (TOT) yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang telah dilakukan sebelumnya secara virtual. 

Penyelenggaraan pelatihan jurnalistik berbasis perspektif gender kepada praktisi media ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada praktisi media. Sehingga dalam mengkonstruksi dan menganalisis nilai-nilai sosial yang berbasis gender bisa memberikan nilai-nilai yang konstruktif dan mendorong kemajuan kesetaraan gender serta menjadi ruang aman bagi perempuan.


“Media  memiliki peran sangat penting, dalam menyuarakan suara-suara masyarakat yang terbungkam. Pun dalam konteks ini, media diharapkan melakukan kontrol terhadap adanya perlakukan dikriminasi terhadap perempuan. Jurnalis yang paham isu gender sangat dibutuhkan dalam membuat berita, melalui kegiatan ini diharapkan media dapat menyajikan berita yang berperspektif gender dan seorang jurnalis yang adil gender ” ucap Hiswita


Begitu juga yang disampaikan oleh Elsa Desi, selama menjadi paralegal LBH Papua banyak kasus-kasus kekerasan yang terjada terhadap perempuan yang jarang di angkat oleh media, dan bahkan jika ada kasus pekerja seks yang mengalami ketidakadilan, terkadang pemberitaannya lebih kea rah pekerjaan atau pakaian yang digunakan atau cenderang menggirng opini masyarakat yang menimbulkan stigma. Sehingga banyak perempuan sulit untuk terbuka pada media karena terkadang media juga menjadi pelaku ketidakadilan gender, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman media tentang isu kesetaraan gender jadi manajemen harus punya nilai adil dan setara.


Elsa Desi Juga menambahkan bahwa, kegiatan ini menarik dan seharusnya dilakukan secara terus menerus agar semakin membangun kesadaran kritis media dan pemimpin redaksi untuk sensitive dan peka terhadap isu ini. Pungkasnya


Sementara Jems yang juga salah satu Jurnalis yang hadir menyampaikan bahwa, memang sudah seharusnya media mendapat pelatihan tentang isu ini tetapi juga melibatkan pemimoin redaksi akan jauh lebih menarik agar setiap elemen terlibat. Dan juga perlu kerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan agar jika ada kasus-kasus perempuan yang di tangani dapat melibatkan kami jurnalis. 


Beberapa pernyataan juga di sampaikan oleh Pak Hank salah satu perwakilan dari jurnalis warga yang juga aktif dalam bidang seni, bahwa Papua adalah daerah dimana kuat dengan adat, budaya dan tradisi sehingga masih banyak daerah yang memang membatasi perempuan termasuk dalam pengambilan keputusan atau terlibat didalam kegiatan-kegiatan, karena perempuan dianggap tidak berhak dan hanya bolh didapur menyiapkan makanan, apalagi jika ada acara-acara atau bahkan perempuan tidak diberhak mengontrol jumlah anak, dan masih banyak hal yang memang perlu di gaungkan dan itu harus terus menerus, itulah peran media harus kuat disitu. Ucapnya


Sedangkan menurut Iren bahwa  pemimpin dalam manajemen media memang harus melibatkan perempuan dan harus kental dengan kesetaraan gender, agar lebih mudah mendorong berita-berita yang mengedukasi serta menyuarakan keadilan bagi perempuan , kalau bukan kitong siapa lagi yang mo bicara dan menyuarakan, perempuan bukan hanya ibu rumah tangga tetapi juga perempuan pekerja seks, itu harus jadi perhatian, banyak perempuan akhirnya diam karena kekerasan berlapis sering di alami termasuk dari media dalam pemberitaan yang tidak sensitive gender”. ucap perempuan yang juga terlibat dalam pembuatan film-film documenter bersama Papuan Voices


Kegiatan yang berlangsung beberapa jam ini memberikan banyak gambaran tentang pentingnya sosialsiasi gender dikalangan media dan juga pemimpin dalam manajemen media agar membangun kesadaran kritis akan isu keseteraan gender. Bahkan beberapa harapan muncul dalam sesi terakhir yaitu berharap PPMN dapat memfasilitasi kegiatan secara berkelanjutan untuk melibatkan jurnalis-jurnalis lain untuk terlibat. 


Berbagai materi disajikan yaitu konsep gender,  pentingnya manajemen media yang berperspektif gender serta  bentuk-bentuk ketidakadilan gender , yang kemudian diinternalisasikan kedalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahami oleh setiap peserta dapat dilihat dalam proses dimana semua peserta aktif mengikuti proses dan bahkan berbagi cerita tentang pengalaman hidup sebagai korban dari kontruksi social, baik sebagai korban maupun menyadari bahwa terkadang menjadi pelaku ketidakadilan namun tidak disadari, dan ini membuat proses semakin menarik. 


Pada akhir sesi seluruh peserta berharap ini menjadi PR bersama dan semoga dapat diteruskan kepada sesame jurnalis termasuk pimpinan, dan akhirnya memahami bahwa kesetaraan gender harus dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan agar meminimalisir ketidakadilan terhadap perempuan. 


“Sejatinya bahwa, kegiatan ini adalah mengajak kita semua untuk terlibat didalam penurunan kekerasan berbasis gender, dan itu dimulai dari diri sendiri termasuk mengedukasi dan memberi pemahaman kepada jurnalis dalam mengemas suatu berita agar berperspektif gender dan mengedepankan martabat setiap orang tak terkecuali perempuan, anak dan kelompok rentan. Semoga dalam kepemimpinan dan manajemen media juga dapat menjunjung nilai kesetaraan dan adil gender. Mari Kitong Konsisten Untuk Menjadi Bagian Dari Perubahan” . ucap Hiswita menutup sesi kegiatan  




Related Posts:

Nur Nadlifah : Cegah Pernikahan Dini, Upaya Menurunkan Stunting


BREBES ( cbm-news.com )- Sebagai upaya menurunkan stunting, salah satunya dengan mencegah pernikahan dini. Demikian disampaikan anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Hj. Nur Nadlifah, S.Ag,M.M pada acara Sosialisasi Penguatan Pendataan Keluarga dan Kelompok Sasaran bangga Kencana bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Tengah di Pulau Cemara Sawojajar Kabupaten Brebes, Minggu (14/10/2021 ).


Pernikahan dini atau perkawinan anak, kata Nur Nadlifah, menyebabkan beberapa hal di antaranya yaitu stunting, tingginya angka kematian ibu dan bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak lainnya. 


Untuk itu, semua pihak perlu bersinergi dan berperan dalam menurunkan stunting dengan memberikan edukasi kepada remaja dengan mengalihkannya pada kreatifitas dan pengembangan diri agar siap menghadapi usia ideal pernikahan.


" Selain itu resiko pernikahan dini diantaranya adalah resiko kesehatan, resiko psikologi, resiko ekonomi dan resiko kekerasan dalam rumah tangga," katanya.


Semua pihak harus saling bersinergi, baik pemerintah pusat, daerah, tokoh agama, tokoh adat, dunia usaha, media massa, dan lapisan masyarakat lainnya, melalui regulasi yang dapat diimplementasikan dengan baik.


" Selain itu juga bekerjasama dengan pihak terkait untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif, dalam bentuk informasi, maupun materi edukasi kepada masyarakat luas yang diolah dalam bahasa sederhana agar mudah dimengerti anak dan keluarga,| pungkasnya. 


Related Posts:

Puluhan Pemuda Brebes Dibekali Kuliner Catering Sekaligus Digital Marketing

 


Brebes – Perwakilan pemuda se-Kabupaten Brebes sejumlah 45 orang, mendapatkan pelatihan digital marketing dan kewirausahaan di bidang kuliner catering selama 3 hari (2-4 November 2021) di Gedung PGRI Brebes, Jawa Tengah.


Disampaikan Kadisdikpora Brebes melalui Fajar Adi Widiarso, Kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Dindikpora Brebes, tujuan dilaksanakan pelatihan ini adalah untuk memancing para pemuda Brebes berinovasi dan kemudian mampu memasarkannya.


Dari 75 orang undangan di 17 kecamatan di Kabupaten Brebes, sebanyak 45 orang mengikuti kegiatan ini.


“Masih dalam nuansa sumpah pemuda yang ke-93 tahun 2021, kita harapkan para pemuda Brebes siap berwirausaha dan memasarkan hasil usahanya atau produk branding melalui platform sosial media,” terangnya, Selasa (2/11/2021).


Selain para pemuda, sasaran pelatihan adalah warga desa binaan PKKP (Pengembangan Kepedulian dan Kepeloporan Pemuda) Brebes.


Lanjutnya, di hari pertama ini materi yang diberikan yaitu digital marketing, sedangkan dua hari sisanya mereka diberikan materi kelas dan dilanjutkan praktek pembuatan berbagai kuliner dengan 10 bumbu resep, dari pihak Sinar Boga Mandiri Brebes.


Selain itu, ucap Fajar yang biasa disapa Mas Kabid, pelatihan itu juga merupakan upaya Pemkab dalam mengurangi angka kemiskinan di kabupaten yang berpenduduk terbanyak di Jawa Tengah ini.


“Pelatihan ini untuk mengembangkan kemandirian ekonomi, khususnya membentuk pemuda menjadi pengusaha muda. Dengan begitu, jangka panjangnya adalah meningkatkan sektor perekonomian juga APBD,” sambungnya.


Disampaikannya lanjut, PKKP merupakan kepanjangan tangan dari Pemprov Jateng dan juga adalah program unggulan dari Disporapar Jateng di daerah-daerah (kabupaten), untuk mendorong pengembangan kemandirian ekonomi khususnya kepemudaan yang ada di desa-desa penempatan PKKP.


Untuk itulah, dalam pelaksanaan tugasnya PKKP berkolaborasi dengan Dindikpora dan juga organisasi-organisasi kepemudaan yang ada seperti HIPMI dan KNPI.


“Kegiatan ini juga merupakan sinergi antara Pemkab, PKKP, Dindikpora, HIPMI dan juga KNPI Brebes,” pungkasnya. (Aan)

Related Posts:

Menguak Mitos Telaga Renjeng Paguyangan Brebes

 Menguak Mitos Telaga Ranjeng Paguyangan Brebes


Brebes – Telaga Ranjeng dengan ribuan ikannya, merupakan salah satu destinasi wisata yang terletak di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah selain goa jepang, wisata air, dan tuk bening yaitu mata air abadi yang ketiganya terletak di kawasan Perkebunan Teh Kaligua.


Jadi, telaga ini akan dilewati wisatawan yang hendak berkunjung ke Agrowisata Perkebunan Teh Kaligua, yang berjarak 1 kilometer dari telaga.


Telaga Ranjeng terletak di ketinggian 1.200 mdpl, di kawasan hutan pinus dan damar yang merupakan cagar alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng, di kaki Gunung Slamet. Suhu harian mencapai 8-22 derajat celcius di musim kemarau, dan 4-12 derajat celcius saat musim penghujan.


Telaga ini pertama kali ditemukan tahun 1924 pada zaman penjajahan Belanda, sehingga pihak Belanda menetapkannya sebagai strict nature reserve (kawasan cagar alam) melalui SK Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 25 tanggal 11 Januari 1925, dengan total luas mencapai 48,5 ha. Status ini kemudian diperkuat dengan SK Penunjukan Menteri Kehutanan No. SK.3 5 9/MenHut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004.


Selanjutnya pada tahun 2013, status itu diperkuat kembali dengan SK Menhut No.313/Menhut-II/2013, tanggal 13 Mei 2013. Berdasarkan SK Menhut ini, total luas kawasan konservasi hutan resapan wilayah Brebes selatan ini mengalami penambahan menjadi 53,41 ha, dengan luas telaga mencapai 18,74 ha.


Terakhir kali pada tahun 2018 lalu, dilakukan pengukuran oleh BKSDA Jateng melalui Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang, bahwa luas keseluruhan kawasan cagar alam itu menjadi 58,5 ha, dengan perincian 39,7 ha luas daratan/hutan, dan 18,85 ha untuk telaga/perairan.


Telaga Ranjeng bukan merupakan obyek wisata, hanya tempat yang dikunjungi wisatawan. Itu karena tempat ini berada di kawasan cagar alam/suaka alam/ pelestarian Alam, yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya. Ini berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, serta PP Nomor 28 tahun 2011, tentang Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.


Telaga yang berusia ratusan tahun ini mulai dikenal untuk umum pada tahun 1935. Salah satu bukti kuat usia telaga tersebut adalah dengan masih adanya perahu jukung/sampan di tepi telaga.


Tampak keluarga Serma Aan Setyawan, anggota penerangan Kodim 0713 Brebes sedang memegang ikan mas di atas jukung tersebut, Minggu (31/10/2021).


Disampaikan Serma Aan, dirinya hanya ingin membuktikan mitos bahwa jika pengunjung memegang dan mengangkat ikan mas untuk difoto, kemudian ikan itu jatuh dari gendongan maka setelah pulang akan bermimpi bertemu ikan itu, dan paginya badan akan terasa sakit.


“Saya niatnya hanya ingin mengabadikan momen bersama ikan mas saja. Walaupun ikan itu akhirnya jatuh ke air namun saya tidak ada niat menyakitinya, dan Alhamdulillah mitos itu tidak terjadi kepada saya,” ujarnya.


Lanjut Aan, ikan mas disitu sangat jinak dengan manusia, terlebih jika diberikan makan berupa roti yang dijual pedagang di pintu masuk telaga, ikan-ikan itu berebut roti sehingga membuat air seperti dipenuhi ikan.


Kesan mistis mulai terasa saat para pengunjung memasuki kawasan telaga yang konon terdapat istana gaib Mbah Ranjeng dengan ribuan pengawalnya yang dipercaya memberikan isyarat keberkahan ataupun bencana.


“Salah satu mitos warga adalah ada ikan berukuran sebesar rumah, dimana jika ikan ini terlihat maka air di telaga akan meluap dan banjir. Percaya atau tidak, cerita rakyat ini, yang pasti perlu kita dilestarikan sehingga tetap menjadi salah satu kekayaan budaya nusantara,” tandasnya.


Selain itu, kesan mistis juga dikarenakan dulunya telaga ini juga dijadikan sebagai tempat bersuci para raja Jawa, khususnya raja-raja Majapahit.


Kemistisan juga didukung kepercayaan yang menyebutkan bahwa penguasa telaga ini adalah Eyang Putihan yang memiliki banyak santri/murid, dimana santri-santri yang membangkang perintah gurunya itu dikutuk menjadi ikan-ikan penunggu telaga.


Masyarakat juga percaya bahwa selain Eyang Putihan dan ikan kutukan itu, penunggu telaga lainnya adalah Anglingkusumo yang merupakan putra dari Prabu Angling Dharma, Eyang Tunggul Wulung, ikan lele raksasa, ratu maung (harimau putih), Ratu Majeti yang berwujud ular, Ratu Sulung Wanora yang berwujud kera putih, serta ada Nyi Dewi Rantamsari yang mitosnya beberapa kali terlihat mengambang diatas permukaan telaga untuk menyapu dedaunan yang jatuh di air telaga.


“Masyarakat percaya bahwa tidak ada dedaunan di atas permukaan air telaga, padahal telaga dikelilingi banyak pepohonan besar dan rindang. Mereka percaya Nyi Dewi Rantamsari yang membersihkannya,” imbuhnya.


Sementa itu diceritakan Jamal (43), juru kunci telaga generasi ketiga sekaligus petugas keamanan kawasan hutan lindung itu, pada awalnya telaga dihuni oleh ikan wader, namun entah apa sebabnya ikan wader itu menghilang dan kemudian berganti menjadi lele yang ukurannya hampir sama.


Ikan-ikan ini telah berganti jenisnya berkali-kali, dimana awalnya adalah ikan wader, kemudian lele, nila, dan sejak tahun 2020 lalu berganti menjadi ikan mas.


“Dari mitos-mitos itu, para pengunjung tidak berani menangkap ikan-ikan itu sehingga keberadaannya tetap lestari. Pengunjung ikut meyakini bahwa jika mengambil ikan di telaga ini maka akan mendapat musibah/petaka,” katanya.


Masyarakat di desa-desa yang berada di bawah telaga juga percaya, jika ikan yang muncul adalah lele maka pertanian mereka kurang makmur karena tanaman mereka dimakan hama serangga dan tikus. Namun, jika ikan mas yang muncul maka pertanian mereka akan melimpah atau dalam masa keemasan.


Kepercayaan tentang ikan keramat itu juga dikaitkan dengan kejadian bencana alam dasyat tsunami di Aceh pada 2004 silam. Waktu itu, ribuan ikan lele di telaga tiba-tiba hilang dan berganti menjadi ikan nila.


Setelah tsunami itu, ikan nila berganti kembali menjadi ikan lele, kemudian pada 2010 lalu ikan-ikan lele itu berganti kembali menjadi ikan mas.


Jamal menegaskan, tidak ada seorang warga pun yang menebar ikan di telaga itu. Pergantian jenis ikan itu terjadi secara tiba-tiba dan dalam hitungan hari, dan anehnya ukurannya hampir sama semua.


Menurutnya, pernah ada salah seorang wisatawan yang mengambil ikan lele disana, namun sesampainya di rumah yang bersangkutan sakit-sakitan dan baru sembuh setelah mengembalikan ikan lele yang dibawanya itu ke telaga.


“Kejadian aneh juga pernah terjadi pada 25 Maret 2019, ada warga Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, yang hilang selama 12 tahun ditemukan di tepian Telaga Ranjeng,” bebernya.


Karyono, orang yang hilang itu ditemukan Aris keluarganya, terlihat dalam keadaan linglung dan tidak bisa berbicara. Ia masih mengenakan celana yang sama dengan yang digunakannya 12 tahun silam (19 November 2007).


Begitu juga saat sebelum menghilang, Karyono menderita penyakit kulit di bagian kakinya, dimana sudah berobat kemana-mana namun penyakit kulit itu semakin parah sehingga membuatnya menjadi sosok yang berkecil hati.


Namun meskipun begitu, kepulangan Karyono tetap disambut gembira oleh pihak keluarganya, terlebih saat ditemukan penyakit akutnya itu sudah hilang tanpa bekas.


Dulu banyak yang percaya bahwa jika air telaga dapat digunakan untuk menyuburkan tanaman serta mencegah serangan hama. Namun sekarang masyarakat tidak ada yang berani menggunakannya.


“Sebagian masyarakat masih ada yang percaya bahwa jika air telaga luber sampai ke jalan maka pertanian mereka akan melimpah,” sambungnya.


Mitos turun temurun lainnya adalah bahwa Telaga Ranjeng adalah pusarnya Gunung Slamet, gunung yang berketinggian 3.428 mdpl dan merupakan salah satu dari 129 gunung api aktif yang ada di Indonesia. Telaga ini terbentuk dari kawah Gunung Slamet yang tercatat di Volcanolive.com pernah meletus sebanyak 43 kali, mulai tahun 1772 sampai 2009.


Untuk versi lain, terbentuknya telaga itu adalah dari salah satu Waliyullah yang membuat mata air (sekarang telaga – red), agar masyarakat dapat berwudhu dan bercocok tanam.


Masyarakat desa di bawah telaga, sudah mencoba membuat sumur sampai kedalaman 100 meter, namun anehnya tidak ada air yang muncul. Sedangkan loginya, umur-sumur itu harusnya muncul mata air karena letaknya lebih rendah dari telaga.


“Sampai sekarang masyarakat yang tinggal di desa-desa yang lebih rendah dari telaga itu, menggunakan mata air alami yang juga ada di kaki Gunung Slamet, yang dialirkan ke rumah-rumah atau sawah dengan menggunakan selang atau pipa pvc,” tandasnya.


Lebih lanjut Jamal menjelaskan, setiap bulan Suro, masyarakat setempat menggelar upacara adat ratiban, yaitu ritual mengumpulkan ratusan tumpeng/gunungan, kemudian berdoa bersama, dan akhirnya dimakan bersama.


Ritual itu sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta sekaligus sebagai tolak bala dan bencana. Ritual ini pertama kali digelar pada masa kepala desa Pandansari pertama, yaitu Kades Sirpan Reskayuda.


Masih menurut Jamal, sampai saat ini belum diketahui secara pasti kedalaman telaga ini. Ada yang mengatakan hanya sekitar tiga meter. Namun ia mengingat bahwa pada tahun 2018 lalu, sejumlah mahasiswa UNSOED Purwokerto melakukan penelitian untuk mengukur kedalaman telaga dengan menggunakan sonar.


“Pada saat itu didapatkan hasil pengukuran terdalam mencapai 1.200 meter,” imbuhnya. 


Beberapa praktisi supranatural juga pernah hadir melakukan mediumisasi dengan beberapa penunggu gaib untuk menguak mitos dan kedalaman telaga.


Mahasura, salah satu penguasa gaib yang berwujud manusia bermata merah dan bisa berwujud ular ini mengatakan, kedalamannya mencapai 170 meter di bagian timur-utara telaga. Kedalaman ini diucapkannya bernama kedung ombo, yang berasal dari pepunden (palung/kedung) Gunung Slamet.


Menurut Mahasura yang menetap di kedung ombo juga, ikan lele besar itu merupakan salah satu anak buahnya. Kemudian untuk jenis ikan yang berubah-ubah adalah anak buahnya juga, karena jin dapat berubah-ubah, jadi bukan santri-santri kutukan Eyang Putihan.


Sementara itu disampaikan Sertu Sugeng Widodo, Babinsa Pandansari dari Koramil 11 Paguyangan, saat ini Telaga Ranjeng sudah dibuka untuk umum kembali sejak Brebes menyandang predikat PPKM level 3 sejak 21 September 2021 lalu.


“Bersama Bhabinkamtibmas dan Pokdarwis Pandansari, kita terus menghimbau masyarakat agar tetap mematuhi protokol kesehatan, serta kepada para pengunjung agar tidak mengambil ikan di Telaga Renjeng agar habitatnya tetap terjaga,” tegasnya. (Aan)


Related Posts: