UU Cipta kerja sudah diketok palu dan menjadi kontroversi di masyarakat karena dianggap merugikan buruh dan para pekerja. Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru disahkan masih mendapat penolakan. Berikut ini sejumlah poin krusial di UU Ciptaker.
Kesepakatan soal UU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan dengan diwarnai penolakan Fraksi Partai Demokrat dan PKS.
Meskipun UU Ciptaker telah disahkan, sejumlah protes yang menolak Undang-undang masih terus bergema. Beberapa di antaranya disuarakan oleh protes kaum buruh di sejumlah daerah.
Berikut ini sejumlah poin pasal krusial dan dampaknya yang dirangkum detikcom:
1. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.
Pasal 88 UU PPLH berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.
Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan.
"Bahwa pertanggungjawaban mutlak korporasi itu berusaha diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya. Artinya pemerintah lebih melindungi keberlangsungan korporasi dibanding upaya penegakan hukum secara mutlak berdasarkan UU 32/2009," ujar Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman kepada wartawan, Selasa (6/10).
2. Pasal Terkait Kewajiban Memiliki Amdal
UU Ciptaker juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha untuk melakukan kegiatan usahanya:
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.
14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman mengatakan bahwa Omnibus Law meringkas pasal tersebut dalam izin usaha. Dia menduga itu untuk menghilangkan izin lingkungan.
"Jadi jelas bahwa izin lingkungan itu dihilangkan. Kalau di Pasal 37 Omnibus, Perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila, c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL dan UKL-UPL (bukan izin lingkungan). Artinya, AMDAL dan UKL-UPL itu adalah bagian dari izin berusaha," jelasnya.
Related Posts: